Skip to main content

Tempat yang Baik untuk Patah Hati

  


Ada hari di mana kita ditakdirkan untuk patah hati.

Nilai yang buruk. Ucapan sok tahu. Atasan menyebalkan. Ban bocor. Tak bawa payung. Disalahpahami. Kerjaan menumpuk. Cemburu. Tak cukup tidur. Uang menipis. Macet. Dibohongi. Deadline tugas yang mendekat. Dikhianati. Kena marah. Tertipu.

Definisi patah hatiku adalah apa-apa yang membuat hati kita menjadi tidak senang, bahkan lebih parah lagi dari sekedar tidak senang.

Apakah frasa patah hati terlalu berlebihan? Hm, karena ini blogku, suka-suka lah ya. 

Saat kondisi itu datang, seluruh hari terasa buruk. Mungkin ingin menangis, atau bahkan sudah menangis. Ucapan apapun yang datang padamu untuk menghibur terasa tidak berguna. Menonton film atau mendengarkan lagu favorit tidak membuatmu lebih baik. Kejadian itu terus berulang di kepalamu betapapun kamu ingin menyingkirkannya.

Tidur juga tidak menolong. Toh sesaat setelah terbangun, kamu ingat lagi dan merasa lebih buruk dari sebelumnya. Kamu melangkahkan kaki dengan gamang, tak bersemangat dan ingin waktu cepat berlalu.

Orang bilang semua masalah bisa diselesaikan dengan berjalannya waktu, tapi musim hujan dan kemarau telah berulang lebih dari dua kali. Masalah patah hatimu tak kunjung sembuh. 

Mungkin kamu terjebak dalam radius kesedihan. Banyak yang tidak sadar bahwa kesedihan itu punya radius. Jika dijelaskan yaa... semacam lingkaran gaib yang menyebar dari titik awal patah hati. Semakin sakit, semakin panjang pula jari-jari lingkaran itu.

Jangan sakit kepala dulu, aku bukan mau mendongeng soal geometri dan rumusnya, hehe. 

Aku hanya mau bilang, kamu perlu keluar dari lingkaran itu. Pergi agak jauh, lihat langit, gunung, atau limpahan air danau dan laut. Mereka akan membantu menyembuhkan lukamu. Pergilah ke tempat yang baik, tempat yang akan memberimu pemahaman bahwa waktumu terlalu berharga untuk dipakai sakit hati. 

Pindah. Hijrah.

Sejauh apa? Cuma kamu yang bisa tahu.

Comments

Popular posts from this blog

Kabar Kematianku

Suatu hari, kamu akan membaca sebuah pengumuman tentang kepergianku melalui pesan whatsapp. Entah siapa yang pertama kali menyebarkannya, yang jelas saat itu kabar telah sampai di berbagai grup. Beberapa menit berselang ucapan istirj'a  datang silih berganti disertai do'a-doa seperti biasa: semoga amal diterima dan semoga keluarga kuat. Tentu saja saat itu tubuh kaku dan dinginku sudah tidak bisa ikut berkomentar atau sekedar mengaminkan do'a dari kalian. Saat itu aku mungkin baru selesai dimandikan dan hendak dibungkus dengan kain kafan.  Kamu mungkin lupa siapa aku. Atau mungkin kamu ingat-ingat lupa. Lalu membuka profil whatsappku, nihil, hanya ada gambar langit di sana. Lalu kamu mencoba menchat teman terdekat dan menanyakan siapa yang baru saja dikabarkan meninggal. Temanmu juga lupa tapi menyuruhmu mencari akun medsosnya. Kamu pun meluncur ke instargam, mencari di antara teman-temanmu namun tidak ada. Lalu kamu kembali ke pencarian, ah, namaku juga terlalu umum. Namun...

Hari-hariku Dua Bulan ke Belakang

Setiap bangun tidur, tubuhku terasa lelah bukan main. Namun di saat bersamaan, pikiranku langsung tertuju pada runtutan tugas pagi itu. "Ah, aku harus menanak nasi" "Aku juga harus memasak mpasi" "Sarapan pake apa ya?" "Mandi dulu deh, sekarang hari senin..." Setelah mandi Menanak nasi itu urutannya : nyuci beras, masak nasi, kukus nasi, mendinginkan nasi Bikin mpasi itu urutannya : cemplung nasi, cemplung lauk, sayur, bumbu, blender, masukin ke kontainer Masak lauk : kocok telur, bumbu-bumbu, goreng Manasin air : masukin air ke teko, simpan teko di kompor Di sela-sela itu, kalau si kecil tidak dijaga ayahnya, aku akan bolak-balik menjaganya. Lalu keringat sudah bercucuran lagi. Makan, sambil menyeduh kopi yang entah sempat diminum atau tidak. Lalu pakai baju, make up, sambil nonton tekotok. Biasanya di waktu-waktu ini pengasuh datang. Tiba-tiba saja lima menit lagi menuju pukul 7. Pulang kerja, badan sudah tentu cape, namun bahagia bertemu lagi ...

Sibuk adalah Obat

Kamu sudah tahu bahwa dirimu tidak bisa mengendalikan aliran perasaan. Namun kabar baiknya, kamu tahu kamu bisa mengendalikan apa yang kamu lakukan. Perasaan aneh itu terus mengalir melukai dirimu setiap detik. Tapi kamu mencoba mengalihkan fokus dengan tetap berjalan di atas kesibukan.  Tidak ada tepuk tangan atas keputusanmu itu. Tidak pula ada umpatan. Kamu berjalan seolah memang begini seharusnya. Kamu juga merasa tidak punya hak atas keluhan, apalagi menangis.  Kesibukan menggerus setiap menit dalam harimu, lebih menyakitkan dari perasaan itu. Lebih melelahkan, lebih menyesakkan. Kamu tidak peduli karena itu memang apa yang kamu mau. Rasa sakit yang dapat menutupi rasa sakit lainnya.  Di suatu malam, aku mengirim surat kepada angin. Malam itu juga sang angin menjawab bahwa kamu tidak sendirian. Ratusan, ribuan, ratus ribuan orang-orang yang pernah bertemu denganmu, mengobrol denganmu, atau bahkan hanya berpapasan denganmu, mereka semua mempunyai resep yang sama denga...