Skip to main content

Menghadapi Diri

 Ada kalanya manusia sulit untuk menghadapi perasaannya sendiri. Seperti rasa kecewa, malu, sakit hati, takut, atau barangkali kesedihan yang mendalam. Pokoknya semua perasaan yang gak enak itu seperti masuk dulu ke saringan dan bisa ditolak kalau kita mau. Contohnya seperti saat melihat gambar korban tabrakan yang berlumuran darah dengan bentuk tubuh yang tak lagi utuh, kita langsung memejamkan mata dan memilih untuk menutup gambar tersebut. 

Penolakan seperti itu adalah bentuk pertahanan sederhana diri kita. Tanpa disadari, seorang individu itu beneran kompleks banget loh. Satu jiwa dan raga, tapi sebenarnya banyak divisi dalam diri kita yang masing-masing punya peranan khusus. Ada "si selalu tegar", ada "si rapuh", ada "si perfeksionis", ada "si pendendam", ada "si logis" dan lain sebagainya. Namun semua yang dikerjakan oleh divisi-divisi itu, selalu mengarah pada satu tujuan: untuk melindungi diri. 

Sejak dulu aku selalu mengkhayal seperti itu. Tentu dominasi divisi satu dan lainnya berbeda. Divisi utama yang sering tampil padaku ya "si tegar" atau "si pendiam" atau "si jayus". Tahu istilah jayus ga? Kalau ya, kita di generasi yang sama. Haha. Jayus artinya gak lucu. Garing! Tapi aku menyukai divisi itu kok, meski di tatanan status sosial si jayus mungkin termasuk orang yang nggak kompeten ngelawak tapi dipaksain. Bagiku, itu keseruan tersendiri. 

Balik lagi ke kesulitan menghadapi perasaan.

Beberapa orang akan menghubungi teman dekatnya dan ngajak jalan. Beberapa orang lainnya membuka netflix dan menonton film seharian. Sebagian lagi menuliskan penderitaannya di media sosial. Orang langka, menulis di diary yang dipassword dengan rumit dan berharap tidak ada orang lain yang tahu. 

Itu semua pelarian. Bagiku nggak semua pelarian itu salah. It's ok to run away -bener gak grammarnya?- Oh ya, selingan, makanya aku suka lagu korea yang dibawakan SWJA berjudul Run With Me, apalagi yang dicover oleh Jung Seung Hwan. Di lagu itu diceritakan seseorang mengajak temennya buat "melarikan diri". Kira-kira ginilah intisari lagunya:

  "Bawa ransel dengan isi secukupnya, pergi ke tempat manapun bakal aku temenin. Kamu boleh nangis sepuasnya di sana, gak apa-apa. Habis itu, kita balik lagi dengan lebih kuat"

Mungkin ini bukan penghiburan yang biasa. Tapi ada loh orang yang kalau kena masalah rasanya pengen tiba-tiba ilang dan muncul di laut kek, di gunung kek, di kutub selatan kek. Lagu ini kayak mewakili jiwa-jiwa yang pengen melarikan diri saat kena masalah. Kayak aku, haha. 

Intinya, ketika gak sanggup menghadapi perasaan sendiri dan kita memilih untuk "berlari" itu nggak artinya kita lemah kok. Ingat ada istilah mengalah untuk menang? Nah, kabur di sini tuh semacam mengalah, tidak sama dengan kalah kan? 

Comments

Popular posts from this blog

Perihal Makan Bersama

Pagi-pagi sekali kami berpencar. Aku menyelesaikan masalahku, dia dengan dunia kerjanya. Pagi itu kami masih baik-baik saja. Bahkan sangat baik-baik saja. Siang hari juga berlalu dan tak ada masalah. Namun malam hari, perasaanku mulai tak menentu. Selepas Isya dia tak kunjung datang. Aku kelelahan setelah menghabiskan seharian dalam perjalanan panjang. Aku rebah. Dia datang dalam keadaan kuyu, sudah makan, katanya. Aku? Boro-boro makan, mandi pun tak sempat. Kupikir aku berkewajiban menunggunya pulang untuk makan bersama. Namun itu terbantahkan begitu saja. Memang tak ada perjanjian itu di awal. Hanya pikiranku sendiri yang berlebihan. Kusantap mie instan kuah dengan telur matang sempurna. Tak peduli sudah pukul dua satu lebih lima. Aku kelaparan. Tubuh yang tadi merengek minta ditidurkan kini terjaga. Aku harus tidur dalam keadaan kenyang. Bukan karena benar-benar lapar, tapi untuk sama-sama menunjukkan bahwa makan tak harus bersama.

Aku... Tidak Suka Mengajar Saat Ini

 Sudah tujuh tahun lebih mengajar, dan inilah akhirnya, titik jenuh pertamaku yang sangat akut. Kupikir akan membaik di tahun baru ini. Nyatanya tidak. Sama saja kalau tidak semakin buruk. Aku tiba-tiba saja merasa lelah jika harus memikirkan rencana mengajar. Memikirkan urutan pembelajaran tidak lagi membuatku bersenang-senang.  Aku hanya ingin cepat pulang setiap hari. Burnout. Aku pusing sekali Ya Allah. Aku tidak ingin di sini. Tapi semuanya serba bertentangan. Aku akan tetap di sini bahkan 10 tahun ke depan. Toloong. Aku tidak suka mengajar hari ini. Semoga hanya hari ini.

Mom Brain

Katanya, otak seorang ibu memang berubah setelah melahirkan anak. Gampang lupa. Kalau istilah komputer, barangkali juga mudah nge-hang. Aku merasakannya sendiri. Sulit mencerna pernyataan panjang seseorang, apalagi yang tiba-tiba curhat tanpa pembukaan. Tidak menjelaskan duduk masalahnya. Ga ada konteks. Penyebab utamanya adalah kelelahan. Bukan hanya seputar mengurus anak, tapi juga ketika mulai bekerja, berinteraksi dengan lingkungan baru, budaya baru, tuntutan yang baru. Aku tidak lagi merasa antusias. Aku ingin menjadi manusia biasa saja, kalau bisa invisible. Aku tidak ingin dinotice. Tidak mau tahu urusan gosip kelompok sebelah. Aku juga tidak mau tahu aib-aib senior. Aku hanya ingin menjalani hari dengan tenang, tanpa harus mengingat banyak hal. Otatakku menolak bekerja lebih keras. Aku bisa menangis lebih dari sekali dalam sehari. Semuanya kulipat diam-diam, aku tidak mau mendapat pertanyaan. Tanya 'mengapa' akan membuat otakku berpikir keras. Sedangkan aku juga tidak t...