Skip to main content

Seburuk Itu Barangkali

 Kadang aku ingin membelah diri lalu menilai diriku sendiri sebagai orang lain. Nah loh, bingung nggak? Jika tidak, mungkin kita satu spesies. 

Aku ingin tahu separah apa kemampuan sosialku. Aku seorang introvert yang bahkan malas mengumumkan pada dunia bahwa aku introvert. Sejak dulu aku merasa terus berjuang untuk menjadi "manusia" si makhluk sosial. Dari mulai mengamati bagaimana seseorang punya teman dekat, lalu bereksperimen untuk mendapatkan teman dekat, sampai punya teman dekat sungguhan tanpa direncanakan di awal.

Parah.

Aku ingat seorang teman sekelas pernah bertanya pada sahabatku. Ko kamu bisa deket sama dia sih? Kesannya sahabatku masuk ke sebuah lingkungan eksklusif yang sulit dijangkau. Ini nggak ada hubungannya sama kasta elit atau enggak, yang jelas, sampai usia kuliah pun aku masih meninggalkan kesan "mengisolasi diri". 

Aku terlalu malas untuk menanyakan pada orang lain tentang orang seperti apa aku ini. Malas dan tak nyaman sebenarnya. Haruskan seseorang melakukan itu? 

Seburuk itukah aku? 

Barangkali jika ada orang yang mengatakan bahwa aku tidak seburuk itu kok. Bahwa aku keliatan biasa saja, bahkan biasa banget, mudah didekati kok. Mungkin, ya, mungkin aku tidak akan punya pemikirian serumit ini.

Serumit apa?

Aku terlalu malas untuk menjelaskan hal rumit. Jadi, benda itu biasanya kujejalkan saja di kepalaku sampai hippocampus menumpuknya dengan kenangan lain. Makin lama benda rumit semakin penuh sesak di kepalaku dan aku jadi tidak bisa tidur. Pikiranku bercabang seperti pohon beringin. 

Jika sikapku seperti arca ketika seseorang menunjukkan ketertarikannya padaku, barangkali kemampuan sosialku seburuk itu. Ah... aku butuh segelas kopi lagi untuk mengantarku tidur. 

Comments

Popular posts from this blog

Kabar Kematianku

Suatu hari, kamu akan membaca sebuah pengumuman tentang kepergianku melalui pesan whatsapp. Entah siapa yang pertama kali menyebarkannya, yang jelas saat itu kabar telah sampai di berbagai grup. Beberapa menit berselang ucapan istirj'a  datang silih berganti disertai do'a-doa seperti biasa: semoga amal diterima dan semoga keluarga kuat. Tentu saja saat itu tubuh kaku dan dinginku sudah tidak bisa ikut berkomentar atau sekedar mengaminkan do'a dari kalian. Saat itu aku mungkin baru selesai dimandikan dan hendak dibungkus dengan kain kafan.  Kamu mungkin lupa siapa aku. Atau mungkin kamu ingat-ingat lupa. Lalu membuka profil whatsappku, nihil, hanya ada gambar langit di sana. Lalu kamu mencoba menchat teman terdekat dan menanyakan siapa yang baru saja dikabarkan meninggal. Temanmu juga lupa tapi menyuruhmu mencari akun medsosnya. Kamu pun meluncur ke instargam, mencari di antara teman-temanmu namun tidak ada. Lalu kamu kembali ke pencarian, ah, namaku juga terlalu umum. Namun...

Hari-hariku Dua Bulan ke Belakang

Setiap bangun tidur, tubuhku terasa lelah bukan main. Namun di saat bersamaan, pikiranku langsung tertuju pada runtutan tugas pagi itu. "Ah, aku harus menanak nasi" "Aku juga harus memasak mpasi" "Sarapan pake apa ya?" "Mandi dulu deh, sekarang hari senin..." Setelah mandi Menanak nasi itu urutannya : nyuci beras, masak nasi, kukus nasi, mendinginkan nasi Bikin mpasi itu urutannya : cemplung nasi, cemplung lauk, sayur, bumbu, blender, masukin ke kontainer Masak lauk : kocok telur, bumbu-bumbu, goreng Manasin air : masukin air ke teko, simpan teko di kompor Di sela-sela itu, kalau si kecil tidak dijaga ayahnya, aku akan bolak-balik menjaganya. Lalu keringat sudah bercucuran lagi. Makan, sambil menyeduh kopi yang entah sempat diminum atau tidak. Lalu pakai baju, make up, sambil nonton tekotok. Biasanya di waktu-waktu ini pengasuh datang. Tiba-tiba saja lima menit lagi menuju pukul 7. Pulang kerja, badan sudah tentu cape, namun bahagia bertemu lagi ...

Sibuk adalah Obat

Kamu sudah tahu bahwa dirimu tidak bisa mengendalikan aliran perasaan. Namun kabar baiknya, kamu tahu kamu bisa mengendalikan apa yang kamu lakukan. Perasaan aneh itu terus mengalir melukai dirimu setiap detik. Tapi kamu mencoba mengalihkan fokus dengan tetap berjalan di atas kesibukan.  Tidak ada tepuk tangan atas keputusanmu itu. Tidak pula ada umpatan. Kamu berjalan seolah memang begini seharusnya. Kamu juga merasa tidak punya hak atas keluhan, apalagi menangis.  Kesibukan menggerus setiap menit dalam harimu, lebih menyakitkan dari perasaan itu. Lebih melelahkan, lebih menyesakkan. Kamu tidak peduli karena itu memang apa yang kamu mau. Rasa sakit yang dapat menutupi rasa sakit lainnya.  Di suatu malam, aku mengirim surat kepada angin. Malam itu juga sang angin menjawab bahwa kamu tidak sendirian. Ratusan, ribuan, ratus ribuan orang-orang yang pernah bertemu denganmu, mengobrol denganmu, atau bahkan hanya berpapasan denganmu, mereka semua mempunyai resep yang sama denga...