Skip to main content

Tahu Bumbu Rabu

 

Tinggal di kota tahu, tumbuh bersama jajanan seperti tahu gejrot, besar dengan hidangan serba tahu. Tahu bukan sajian aneh, baik bagiku maupun untuk kebanyakan orang di negeri ini. Murah, enak, sehat.

Sebelum berani mengambil resiko (baca: kerepotan) masakan tahu yang kubuat paling-paling sebatas tahu goreng, tahu berontak, tahu krispi, tahu bulat yang tinggal menggoreng, tahu bala alias balahu. Tapi memasak rupanya soal mengambil tantangan baru.

Bumbu masakan yang satu ini terdiri dari bawang bersaudara, cabe, garam, gula, kemiri, salam, sereh, kecap. Bumbu yang lebih rumit dari biasanya. Tekniknya pun tidak cukup dipotong, tapi perlu diulek. Artinya lebih banyak pekerjaan mengupas, mengiris serta lebih banyak cucian kotor. Resikonya lebih tinggi dari tahu-tahu goreng dengan kesulitan level 1.

Kenapa aku memutuskan untuk membuat masakan yang penuh resiko ini? Nanti kapan-kapan aku ceritakan.

Ini adalah percobaan kali ke tiga, menurutku lumayan ada progres. Percobaan pertama tahu kurang kering dan bumbu terlalu banyak. Percobaan kedua bumbu oke, tapi tahu kurang matang. Kali ini proporsi bumbu oke, kematangan tahu oke. Soal rasa masih ada yang janggal, mungkin karena masih kurang pengalaman. Hehe. 

Kesulitan ☆☆☆

Rasa ☆☆☆

Visual ☆☆☆☆

Comments

Popular posts from this blog

Perihal Makan Bersama

Pagi-pagi sekali kami berpencar. Aku menyelesaikan masalahku, dia dengan dunia kerjanya. Pagi itu kami masih baik-baik saja. Bahkan sangat baik-baik saja. Siang hari juga berlalu dan tak ada masalah. Namun malam hari, perasaanku mulai tak menentu. Selepas Isya dia tak kunjung datang. Aku kelelahan setelah menghabiskan seharian dalam perjalanan panjang. Aku rebah. Dia datang dalam keadaan kuyu, sudah makan, katanya. Aku? Boro-boro makan, mandi pun tak sempat. Kupikir aku berkewajiban menunggunya pulang untuk makan bersama. Namun itu terbantahkan begitu saja. Memang tak ada perjanjian itu di awal. Hanya pikiranku sendiri yang berlebihan. Kusantap mie instan kuah dengan telur matang sempurna. Tak peduli sudah pukul dua satu lebih lima. Aku kelaparan. Tubuh yang tadi merengek minta ditidurkan kini terjaga. Aku harus tidur dalam keadaan kenyang. Bukan karena benar-benar lapar, tapi untuk sama-sama menunjukkan bahwa makan tak harus bersama.

Aku... Tidak Suka Mengajar Saat Ini

 Sudah tujuh tahun lebih mengajar, dan inilah akhirnya, titik jenuh pertamaku yang sangat akut. Kupikir akan membaik di tahun baru ini. Nyatanya tidak. Sama saja kalau tidak semakin buruk. Aku tiba-tiba saja merasa lelah jika harus memikirkan rencana mengajar. Memikirkan urutan pembelajaran tidak lagi membuatku bersenang-senang.  Aku hanya ingin cepat pulang setiap hari. Burnout. Aku pusing sekali Ya Allah. Aku tidak ingin di sini. Tapi semuanya serba bertentangan. Aku akan tetap di sini bahkan 10 tahun ke depan. Toloong. Aku tidak suka mengajar hari ini. Semoga hanya hari ini.

Tak Apa, Kamu Sudah Berusaha

Berapa banyak orang yang pernah ngomong gitu ke kamu? dengan tulus... Kayaknya jarang banget, atau malah ga ada ya? Padahal kalau ada kalimat yang dimasukin ke kapsul terus dijual di apotek dan khasiatnya mirip antibiotik, mungkin itu deh kalimatnya: Ga Apa-apa, Kamu Sudah Berusaha. Kalau dijual di toko kosmetik, kalimat itu nempel di semua produk kulit yang punya klaim: antioksidan. Hati, kepala sampai kulit luar kamu bebas dari bakteri inferior, radikal bebas rasa bersalah dan minder. Tapi, pemakaiannya harus teratur. Tiga kali sehari, pagi, siang, malam. Kalau aku, aku tempelin kata-kata itu di layar laptop, benda yang paling sering diliat tiap hari. Tiap baca kalimat itu, ga tau kenapa terhibur aja meskipun ga lagi ada apa-apa. Ajaib ya? Diucapin ke diri sendiri aja segitu ngefeknya loh. Apalagi kalau ada orang lain yang bilang kayak gitu ke kamu. Dimengerti sama orang lain, adalah sebuah keistimewaan loh. Ga semua orang pernah dan punya kesempatan  itu. Coba deh perhatiin, mun...