Skip to main content

2024 dan Aku di Dalamnya

sesaat sebelum kepalanya plontos dicukur sang Nini : )

Baru melangkah dua tahun sejak 2022, namun perubahan yang terjadi sangat drastis. Hai, apa kabar aku di tahun 2024?

Tepat di akhir tahun kemarin, di malam pergantian tahun, aku melahirkan putra pertama kami. Seorang bayi laki-laki yang sehat, berambut tebal dan menangis saat dilahirkan ke dunia. Sebelas menit sebelum lahir, kejadian gempa menggegerkan kami semua. Bukan hanya yang ada di rumah bersalin, namun kami yang berada di seluruh kota Sumedang malam itu. Aku sedang rusuh melawan rasa nyeri sekaligus mulas yang baru kupelajari dan kualami hari itu. Selama beberapa detik kehilangan selera untuk mengeluh. Namun begitu gempa berlalu, aku hanya ingin cepat-cepat disuruh mengedan. 

Mundur ke akhir April, pertama kalinya aku membeli test pack ke apotek. Meski bukan sebuah dosa, tapi aku malu saat mengatakannya pada petugas. Besok paginya aku mencoba menggunakan test pack tersebut dan melihat dua garis merah terbentuk. Kabar baik bahwa aku sedang mengandung. Aku ingat subuh itu dan rasa bahagia kami yang diselimuti rasa tidak percaya.

Awal tahun, aku masih belajar menjadi seseorang bagi seseorang. Membangun keseharianku dengan cara yang berbeda. Bukan lagi dimulai dengan kopi, sarapan seadanya dan podcast dari motivator. Pagiku terisi oleh harumnya goreng irisan bawang, ide sarapan cepat namun (kuharap-cukup) bergizi, strategi menjemur dan mencuci pakaian serta perlalatan kerja suami. Tentu saja saat itu kopi masih tersaji dengan porsi dua kali lipat, kopi miliknya lebih pahit dan milikku lebih manis.

Lalu aku terlempar kembali ke awal tahun 2024 ini. Apa kabar aku yang sedang menjalani pemulihan pasca melahirkan? Satu minggu ini adalah hari-hari berisi tentang memori rasa sakit, perjuangan, kelalahan, kurang tidur, dan mungkin kejenuhan. Namun semua itu berjalan di atas detak perasaan bahagia pertama kalinya menjadi orang tua. Lagi, aku akan belajar menjadi seseorang bagi seseorang.


Comments

Popular posts from this blog

Kabar Kematianku

Suatu hari, kamu akan membaca sebuah pengumuman tentang kepergianku melalui pesan whatsapp. Entah siapa yang pertama kali menyebarkannya, yang jelas saat itu kabar telah sampai di berbagai grup. Beberapa menit berselang ucapan istirj'a  datang silih berganti disertai do'a-doa seperti biasa: semoga amal diterima dan semoga keluarga kuat. Tentu saja saat itu tubuh kaku dan dinginku sudah tidak bisa ikut berkomentar atau sekedar mengaminkan do'a dari kalian. Saat itu aku mungkin baru selesai dimandikan dan hendak dibungkus dengan kain kafan.  Kamu mungkin lupa siapa aku. Atau mungkin kamu ingat-ingat lupa. Lalu membuka profil whatsappku, nihil, hanya ada gambar langit di sana. Lalu kamu mencoba menchat teman terdekat dan menanyakan siapa yang baru saja dikabarkan meninggal. Temanmu juga lupa tapi menyuruhmu mencari akun medsosnya. Kamu pun meluncur ke instargam, mencari di antara teman-temanmu namun tidak ada. Lalu kamu kembali ke pencarian, ah, namaku juga terlalu umum. Namun...

Hari-hariku Dua Bulan ke Belakang

Setiap bangun tidur, tubuhku terasa lelah bukan main. Namun di saat bersamaan, pikiranku langsung tertuju pada runtutan tugas pagi itu. "Ah, aku harus menanak nasi" "Aku juga harus memasak mpasi" "Sarapan pake apa ya?" "Mandi dulu deh, sekarang hari senin..." Setelah mandi Menanak nasi itu urutannya : nyuci beras, masak nasi, kukus nasi, mendinginkan nasi Bikin mpasi itu urutannya : cemplung nasi, cemplung lauk, sayur, bumbu, blender, masukin ke kontainer Masak lauk : kocok telur, bumbu-bumbu, goreng Manasin air : masukin air ke teko, simpan teko di kompor Di sela-sela itu, kalau si kecil tidak dijaga ayahnya, aku akan bolak-balik menjaganya. Lalu keringat sudah bercucuran lagi. Makan, sambil menyeduh kopi yang entah sempat diminum atau tidak. Lalu pakai baju, make up, sambil nonton tekotok. Biasanya di waktu-waktu ini pengasuh datang. Tiba-tiba saja lima menit lagi menuju pukul 7. Pulang kerja, badan sudah tentu cape, namun bahagia bertemu lagi ...

Sibuk adalah Obat

Kamu sudah tahu bahwa dirimu tidak bisa mengendalikan aliran perasaan. Namun kabar baiknya, kamu tahu kamu bisa mengendalikan apa yang kamu lakukan. Perasaan aneh itu terus mengalir melukai dirimu setiap detik. Tapi kamu mencoba mengalihkan fokus dengan tetap berjalan di atas kesibukan.  Tidak ada tepuk tangan atas keputusanmu itu. Tidak pula ada umpatan. Kamu berjalan seolah memang begini seharusnya. Kamu juga merasa tidak punya hak atas keluhan, apalagi menangis.  Kesibukan menggerus setiap menit dalam harimu, lebih menyakitkan dari perasaan itu. Lebih melelahkan, lebih menyesakkan. Kamu tidak peduli karena itu memang apa yang kamu mau. Rasa sakit yang dapat menutupi rasa sakit lainnya.  Di suatu malam, aku mengirim surat kepada angin. Malam itu juga sang angin menjawab bahwa kamu tidak sendirian. Ratusan, ribuan, ratus ribuan orang-orang yang pernah bertemu denganmu, mengobrol denganmu, atau bahkan hanya berpapasan denganmu, mereka semua mempunyai resep yang sama denga...