Skip to main content

Minggu Ke Tiga


Sudah memasuki minggu ke tiga di tahun 2024. Begitu pula dengan usia putra pertama kami. Ia tidak lagi malu-malu saat menyusu. Bahkan kedua tangan dan kakinya sudah bisa bergerak penuh tenaga saat tangisnya tak kunjung direspon dengan tepat. Jadwal bergadangnya pun sedikit sudah mulai bisa diprediksi. Ia bangun sejak ba'da isya, kemudian baru terlelap sekitar pukul 2. Selebihnya pulas hingga pagi. Seperti pagi ini.

Setiap kali melihat wajahnya, aku merasa hampir tak percaya bahwa makhluk mungil ini pernah tinggal di dalam perutku sekian lama. Seiring dengan itu, kejadian di hari kelahirannya juga kembali berputar dalam ingatan, tentu beserta memori rasa sakit, lelah, takut, sampai kemudian lega. Aku bersyukur bisa melewati hari itu dengan "cukup" baik.

Rasanya sampai hari ini pun, waktuku berpusat pada makhluk mungil ini. Namun akan kuusahakan aku tetap memegang kendali  atas diriku, waktuku, kegiatanku, serta tujuanku. Aku berjanji akan lebih konsisten lagi membaca tahun ini. Dua buah buku yang sudah kuincar sejak lama, telah sampai di rumah. Bahkan sudah kubuka dan mulai kubaca. Pertanyaan pentingnya, mampukah aku menyelesaikannya kemudian membuat reviewnya seperti dulu?

Setahun kemarin, aku seperti penumpang kapal laut yang tidak tahu arah tujuan. Aku hanya duduk di geledak kapal dan menikmati indahnya pemandangan di luar sana. Biru laut, cakrawala, jingga matahari terbit dan terbenam. Aku hanya tahu dan ingin menikmati keindahan ini. Aku tidak tahu bahwa sang kapal tidak pergi sesuai tujuan yang kumiliki dulu. Aku hanya menumpang.

Tahun ini, aku turun dari kapal tersebut. Meskipun banyak keindahan di sana, aku tidak ingin terlena. Mungkin satu dua kali aku akan berkunjung ke sana sebagai liburan. Sisanya akan kumanfaatkan dengan menaiki perahuku sendiri. Mendayung sendiri dan berusaha sampai tepat waktu di tujuan. Hei, tahun ini (mungkin) masih sangat panjang. Aku baru memasuki awal 30-an. Saatnya kalibrasi. Bismillah.


Comments

Popular posts from this blog

Perihal Makan Bersama

Pagi-pagi sekali kami berpencar. Aku menyelesaikan masalahku, dia dengan dunia kerjanya. Pagi itu kami masih baik-baik saja. Bahkan sangat baik-baik saja. Siang hari juga berlalu dan tak ada masalah. Namun malam hari, perasaanku mulai tak menentu. Selepas Isya dia tak kunjung datang. Aku kelelahan setelah menghabiskan seharian dalam perjalanan panjang. Aku rebah. Dia datang dalam keadaan kuyu, sudah makan, katanya. Aku? Boro-boro makan, mandi pun tak sempat. Kupikir aku berkewajiban menunggunya pulang untuk makan bersama. Namun itu terbantahkan begitu saja. Memang tak ada perjanjian itu di awal. Hanya pikiranku sendiri yang berlebihan. Kusantap mie instan kuah dengan telur matang sempurna. Tak peduli sudah pukul dua satu lebih lima. Aku kelaparan. Tubuh yang tadi merengek minta ditidurkan kini terjaga. Aku harus tidur dalam keadaan kenyang. Bukan karena benar-benar lapar, tapi untuk sama-sama menunjukkan bahwa makan tak harus bersama.

Aku... Tidak Suka Mengajar Saat Ini

 Sudah tujuh tahun lebih mengajar, dan inilah akhirnya, titik jenuh pertamaku yang sangat akut. Kupikir akan membaik di tahun baru ini. Nyatanya tidak. Sama saja kalau tidak semakin buruk. Aku tiba-tiba saja merasa lelah jika harus memikirkan rencana mengajar. Memikirkan urutan pembelajaran tidak lagi membuatku bersenang-senang.  Aku hanya ingin cepat pulang setiap hari. Burnout. Aku pusing sekali Ya Allah. Aku tidak ingin di sini. Tapi semuanya serba bertentangan. Aku akan tetap di sini bahkan 10 tahun ke depan. Toloong. Aku tidak suka mengajar hari ini. Semoga hanya hari ini.

Mom Brain

Katanya, otak seorang ibu memang berubah setelah melahirkan anak. Gampang lupa. Kalau istilah komputer, barangkali juga mudah nge-hang. Aku merasakannya sendiri. Sulit mencerna pernyataan panjang seseorang, apalagi yang tiba-tiba curhat tanpa pembukaan. Tidak menjelaskan duduk masalahnya. Ga ada konteks. Penyebab utamanya adalah kelelahan. Bukan hanya seputar mengurus anak, tapi juga ketika mulai bekerja, berinteraksi dengan lingkungan baru, budaya baru, tuntutan yang baru. Aku tidak lagi merasa antusias. Aku ingin menjadi manusia biasa saja, kalau bisa invisible. Aku tidak ingin dinotice. Tidak mau tahu urusan gosip kelompok sebelah. Aku juga tidak mau tahu aib-aib senior. Aku hanya ingin menjalani hari dengan tenang, tanpa harus mengingat banyak hal. Otatakku menolak bekerja lebih keras. Aku bisa menangis lebih dari sekali dalam sehari. Semuanya kulipat diam-diam, aku tidak mau mendapat pertanyaan. Tanya 'mengapa' akan membuat otakku berpikir keras. Sedangkan aku juga tidak t...