Skip to main content

Empat Ribu Perak

Seharian tadi, di dompetku hanya ada uang sejumlah empat ribu perak. Udara yang panas selalu membuatku ingin pergi memesan segelas es kopi. Namun melihat kondisi uang seperti itu, aku urungkan niat. Aku menahan lapar di sela lelahnya hari, mengajar dan mengobservasi mahasiswa yang sedang praktik. Keuangan sedang diuji, dan konon itulah ujian paling mutlak yang selalu hadir pada awal-awal fase pernikahan. Aku sudah mempersiapkan diri untuk itu.

Bulan ini, kami benar-benar sedang diuji. Tabungan terkuras habis. Diantaranya aku harus beli laptop agar pekerjaanku tidak terhambat. Lalu uang untuk menggaji pengasuh si kecil. Rata-rata bisa menghabiskan hampir 40% penghasian kami berdua. Lalu, alhamdulillah aku terpanggil untuk PPG, dan untuk itu aku harus mengurus beberapa dokumen, yang tentu saja berbayar. Alhamdulillah, Allah cukupkan.

Aku berdo'a dan mengulang-ulang keyakinanku bahwa yang mengurus kami adalah Allah. Pokoknya serumit apapun, Allah akan atur agar kami menemui jalan keluar.

Bukan hanya soal empat ribu perak, tapi ujian hati di bulan ini juga luar biasa. Pertama, aku mendengar penolakan mutasi dari badan kepegawaian. Alasannya la la la, aku malas menjelaskan saking tidak masuk akalnya. Tapi mereka juga butuh kami sebagai pegawai. Kedua, tadi aku kena tegur karena memberikan nilai praktik pada mahasiswa dengan nilai yang tinggi. Apa salahnya? Kenapa nilai di awal tidak boleh tinggi?

Hmmm

Ketika hati ada yang mengusik, artinya aku diminta untuk menyebut nama Allah lebih banyak. Tangisanku tadi di mesjid saat shalat dzuhur sudah mendapat penghiburan kembali. Teguran itu akhirnya berlalu dan tidak kuambil hati. Empat ribu perak pun sudah diganti 235 ribu setelah shalat ashar. 

Alhamdulillah.

Comments

Popular posts from this blog

Kabar Kematianku

Suatu hari, kamu akan membaca sebuah pengumuman tentang kepergianku melalui pesan whatsapp. Entah siapa yang pertama kali menyebarkannya, yang jelas saat itu kabar telah sampai di berbagai grup. Beberapa menit berselang ucapan istirj'a  datang silih berganti disertai do'a-doa seperti biasa: semoga amal diterima dan semoga keluarga kuat. Tentu saja saat itu tubuh kaku dan dinginku sudah tidak bisa ikut berkomentar atau sekedar mengaminkan do'a dari kalian. Saat itu aku mungkin baru selesai dimandikan dan hendak dibungkus dengan kain kafan.  Kamu mungkin lupa siapa aku. Atau mungkin kamu ingat-ingat lupa. Lalu membuka profil whatsappku, nihil, hanya ada gambar langit di sana. Lalu kamu mencoba menchat teman terdekat dan menanyakan siapa yang baru saja dikabarkan meninggal. Temanmu juga lupa tapi menyuruhmu mencari akun medsosnya. Kamu pun meluncur ke instargam, mencari di antara teman-temanmu namun tidak ada. Lalu kamu kembali ke pencarian, ah, namaku juga terlalu umum. Namun...

Hari-hariku Dua Bulan ke Belakang

Setiap bangun tidur, tubuhku terasa lelah bukan main. Namun di saat bersamaan, pikiranku langsung tertuju pada runtutan tugas pagi itu. "Ah, aku harus menanak nasi" "Aku juga harus memasak mpasi" "Sarapan pake apa ya?" "Mandi dulu deh, sekarang hari senin..." Setelah mandi Menanak nasi itu urutannya : nyuci beras, masak nasi, kukus nasi, mendinginkan nasi Bikin mpasi itu urutannya : cemplung nasi, cemplung lauk, sayur, bumbu, blender, masukin ke kontainer Masak lauk : kocok telur, bumbu-bumbu, goreng Manasin air : masukin air ke teko, simpan teko di kompor Di sela-sela itu, kalau si kecil tidak dijaga ayahnya, aku akan bolak-balik menjaganya. Lalu keringat sudah bercucuran lagi. Makan, sambil menyeduh kopi yang entah sempat diminum atau tidak. Lalu pakai baju, make up, sambil nonton tekotok. Biasanya di waktu-waktu ini pengasuh datang. Tiba-tiba saja lima menit lagi menuju pukul 7. Pulang kerja, badan sudah tentu cape, namun bahagia bertemu lagi ...

Sibuk adalah Obat

Kamu sudah tahu bahwa dirimu tidak bisa mengendalikan aliran perasaan. Namun kabar baiknya, kamu tahu kamu bisa mengendalikan apa yang kamu lakukan. Perasaan aneh itu terus mengalir melukai dirimu setiap detik. Tapi kamu mencoba mengalihkan fokus dengan tetap berjalan di atas kesibukan.  Tidak ada tepuk tangan atas keputusanmu itu. Tidak pula ada umpatan. Kamu berjalan seolah memang begini seharusnya. Kamu juga merasa tidak punya hak atas keluhan, apalagi menangis.  Kesibukan menggerus setiap menit dalam harimu, lebih menyakitkan dari perasaan itu. Lebih melelahkan, lebih menyesakkan. Kamu tidak peduli karena itu memang apa yang kamu mau. Rasa sakit yang dapat menutupi rasa sakit lainnya.  Di suatu malam, aku mengirim surat kepada angin. Malam itu juga sang angin menjawab bahwa kamu tidak sendirian. Ratusan, ribuan, ratus ribuan orang-orang yang pernah bertemu denganmu, mengobrol denganmu, atau bahkan hanya berpapasan denganmu, mereka semua mempunyai resep yang sama denga...