Skip to main content

Belum Sembuh

Sepertinya memang ada satu bagian yang belum sembuh pada diriku. Panggil saja ia luka tak bernama. Biasa saja, seperti orang lain, aku pun punya. Hari ini, aku tahu ia masih ada. Seperti sepenggal cerita yang lupa dihapus. Seperti bait puisi yang tak tuntas. Seperti pesan berakhir tanda koma.

Berangkat kerja, rasanya seperti mau masuk wajib militer. Tak jelas apa yang membuat enggan, yang jelas, perasaan tak menyenangkan itu sangat kentara. Mereka baik, tentu saja, setidaknya di depanku. Namun aku tidak mau bergabung. Aku tidak mau tahu cerita mereka lebih jauh. Aku tidak mau terlibat lebih dalam. Aku hanya ingin di duniaku sendiri. Datang, kerja, pulang. Dapat gaji.

Serius? Ga ada pemaknaan lebih dalam? kamu guru loh.

Untuk saat ini, aku ingin seperti ini dulu. Jujur sangatlah membantu dalam merilis emosi. Setidaknya aku bisa jujur pada diri sendiri. Sulit mengatakan ini pada pihak lain karena dari luar aku terlihat terlalu baik-baik saja. Daripada disalahpahami atau mendapat respon yang tidak sesuai harapan, lebih baik aku menulis. Writing is healing. 

Aku tidak tahu tulisanku ini akan jadi apa kelak. Mungkin hanya seonggok sampah tak berguna. Namun yang terpenting, saat ini, tulisan ini, membantuku. 

Aku tidak suka meja kerjaku berantakan, tapi itu terus berantakan dari hari ke hari dan aku tidak bisa menyelesaikannya. Aku stress soal itu.

Aku tidak suka rumah berantakan, tapi itu juga terus terjadi dan seolah tak ada yang peduli. 

Aku tidak suka kulkasku bau, tapi aku juga terus menunda untuk menyelesaikannya. Sudah berbulan-bulan. 

Aku selalu merasa kekurangan waktu. Tapi, benarkah? Aku merasa ada komponen dalam diriku yang rusak. Perlu diganti. Salah pasang. Tak tepat. Tapi, apa?

Buku apa yang perlu kubaca untuk menuntaskan diriku? Hei kamu, satu dari dua orang yang baca blogku yang tak berguna. Komen ya :D


Comments

Popular posts from this blog

Perihal Makan Bersama

Pagi-pagi sekali kami berpencar. Aku menyelesaikan masalahku, dia dengan dunia kerjanya. Pagi itu kami masih baik-baik saja. Bahkan sangat baik-baik saja. Siang hari juga berlalu dan tak ada masalah. Namun malam hari, perasaanku mulai tak menentu. Selepas Isya dia tak kunjung datang. Aku kelelahan setelah menghabiskan seharian dalam perjalanan panjang. Aku rebah. Dia datang dalam keadaan kuyu, sudah makan, katanya. Aku? Boro-boro makan, mandi pun tak sempat. Kupikir aku berkewajiban menunggunya pulang untuk makan bersama. Namun itu terbantahkan begitu saja. Memang tak ada perjanjian itu di awal. Hanya pikiranku sendiri yang berlebihan. Kusantap mie instan kuah dengan telur matang sempurna. Tak peduli sudah pukul dua satu lebih lima. Aku kelaparan. Tubuh yang tadi merengek minta ditidurkan kini terjaga. Aku harus tidur dalam keadaan kenyang. Bukan karena benar-benar lapar, tapi untuk sama-sama menunjukkan bahwa makan tak harus bersama.

Aku... Tidak Suka Mengajar Saat Ini

 Sudah tujuh tahun lebih mengajar, dan inilah akhirnya, titik jenuh pertamaku yang sangat akut. Kupikir akan membaik di tahun baru ini. Nyatanya tidak. Sama saja kalau tidak semakin buruk. Aku tiba-tiba saja merasa lelah jika harus memikirkan rencana mengajar. Memikirkan urutan pembelajaran tidak lagi membuatku bersenang-senang.  Aku hanya ingin cepat pulang setiap hari. Burnout. Aku pusing sekali Ya Allah. Aku tidak ingin di sini. Tapi semuanya serba bertentangan. Aku akan tetap di sini bahkan 10 tahun ke depan. Toloong. Aku tidak suka mengajar hari ini. Semoga hanya hari ini.

Mom Brain

Katanya, otak seorang ibu memang berubah setelah melahirkan anak. Gampang lupa. Kalau istilah komputer, barangkali juga mudah nge-hang. Aku merasakannya sendiri. Sulit mencerna pernyataan panjang seseorang, apalagi yang tiba-tiba curhat tanpa pembukaan. Tidak menjelaskan duduk masalahnya. Ga ada konteks. Penyebab utamanya adalah kelelahan. Bukan hanya seputar mengurus anak, tapi juga ketika mulai bekerja, berinteraksi dengan lingkungan baru, budaya baru, tuntutan yang baru. Aku tidak lagi merasa antusias. Aku ingin menjadi manusia biasa saja, kalau bisa invisible. Aku tidak ingin dinotice. Tidak mau tahu urusan gosip kelompok sebelah. Aku juga tidak mau tahu aib-aib senior. Aku hanya ingin menjalani hari dengan tenang, tanpa harus mengingat banyak hal. Otatakku menolak bekerja lebih keras. Aku bisa menangis lebih dari sekali dalam sehari. Semuanya kulipat diam-diam, aku tidak mau mendapat pertanyaan. Tanya 'mengapa' akan membuat otakku berpikir keras. Sedangkan aku juga tidak t...