Skip to main content

Mom Brain

Katanya, otak seorang ibu memang berubah setelah melahirkan anak. Gampang lupa. Kalau istilah komputer, barangkali juga mudah nge-hang. Aku merasakannya sendiri. Sulit mencerna pernyataan panjang seseorang, apalagi yang tiba-tiba curhat tanpa pembukaan. Tidak menjelaskan duduk masalahnya. Ga ada konteks.

Penyebab utamanya adalah kelelahan. Bukan hanya seputar mengurus anak, tapi juga ketika mulai bekerja, berinteraksi dengan lingkungan baru, budaya baru, tuntutan yang baru. Aku tidak lagi merasa antusias. Aku ingin menjadi manusia biasa saja, kalau bisa invisible. Aku tidak ingin dinotice. Tidak mau tahu urusan gosip kelompok sebelah. Aku juga tidak mau tahu aib-aib senior. Aku hanya ingin menjalani hari dengan tenang, tanpa harus mengingat banyak hal. Otatakku menolak bekerja lebih keras.

Aku bisa menangis lebih dari sekali dalam sehari. Semuanya kulipat diam-diam, aku tidak mau mendapat pertanyaan. Tanya 'mengapa' akan membuat otakku berpikir keras. Sedangkan aku juga tidak tahu pasti penyebabnya. Aku hanya sedih dan menangis. Kenapa? ya itu dia, aku sedih. Kenapa? ya karena ingin menangis. Rupanya kemampuan kognitifku ikut mengerut.

Sayapku patah dengan sendirinya setelah menikah. Ada batas teritori yang tak bisa kulampaui dengan kemauan sendiri. Kehidupanku jadi seputar ini-ini saja. Itu-itu saja. Dapur, sumur, kasur. Benar adanya. Kalau siang ke kantor, tapi kantor bukan tempat rekreasi. Sama saja seperti ketiga rutinitas di rumah. Kelas, kantin, ruang guru. Aku tak suka ruang guru karena di sana banyak asap rokok btw.

Sepulang dari kantor tubuh terlalu lelah untuk bercerita. Waktu terlalu singkat untuk mendengar ocehan dan mimpi sendiri. Semuanya berjalan serba cepat. Tiba-tiba saja malam, ketika kami bertiga diangkut kereta roda dua menuju rumah sendiri. Di sanalah sesi kerjaku akan berakhir sekaligus dimulai. Aku tertidur dalam keadaan lelah dan bangun dengan sangat lelah. Lalu tiba-tiba pagi dan segala pertempurannya dimulai. Aku pernah menghitung, sebelas pertempuran dalam satu jam. Gila. Otak ini mengerut sekaligus berekskalasi.

Setiap hari tidak menyenangkan. Mengatakannya saja aku merasa waswas. Takut dikira tak bersyukur. Tapi aku tak mau lagi memendamnya dan pura-pura baik. Semua hariku tak lagi sama, tak lagi ada warnanya. Aku berusaha mengurai semua kekusutan di kepala. Bicara pada manusia, kadang harus menerima cerca. Sekarang, bahkan aku tak punya waktu untuk kecewa.

Lebih berusaha lagi katamu?

Aku membeli barang-barang yang kusuka. Aku mulai menemui teman-teman. Aku melarikan diri ke perpustakaan pada Jum'at siang. Lalu aku juga mulai menulis jurnal lagi. Aku bercerita pada belahan jiwa. Setelah itu apa?

Tahun ini adalah yang terberat dalam karirku sebagai guru. Aku bosan sampai ke ubun-ubun. Aku tak ingin apa-apa kecuali tak berangkat kerja. Aku tak mau beramah-tamah dengan rekan kerja. Tak mau ada urusan dengan mereka. Tak suka rapat-rapat sampai jam dua. 

Otak si ibu kelelahan, bahkan untuk merasa lelah pun, tak sanggup.


Comments

Popular posts from this blog

Kabar Kematianku

Suatu hari, kamu akan membaca sebuah pengumuman tentang kepergianku melalui pesan whatsapp. Entah siapa yang pertama kali menyebarkannya, yang jelas saat itu kabar telah sampai di berbagai grup. Beberapa menit berselang ucapan istirj'a  datang silih berganti disertai do'a-doa seperti biasa: semoga amal diterima dan semoga keluarga kuat. Tentu saja saat itu tubuh kaku dan dinginku sudah tidak bisa ikut berkomentar atau sekedar mengaminkan do'a dari kalian. Saat itu aku mungkin baru selesai dimandikan dan hendak dibungkus dengan kain kafan.  Kamu mungkin lupa siapa aku. Atau mungkin kamu ingat-ingat lupa. Lalu membuka profil whatsappku, nihil, hanya ada gambar langit di sana. Lalu kamu mencoba menchat teman terdekat dan menanyakan siapa yang baru saja dikabarkan meninggal. Temanmu juga lupa tapi menyuruhmu mencari akun medsosnya. Kamu pun meluncur ke instargam, mencari di antara teman-temanmu namun tidak ada. Lalu kamu kembali ke pencarian, ah, namaku juga terlalu umum. Namun...

Hari-hariku Dua Bulan ke Belakang

Setiap bangun tidur, tubuhku terasa lelah bukan main. Namun di saat bersamaan, pikiranku langsung tertuju pada runtutan tugas pagi itu. "Ah, aku harus menanak nasi" "Aku juga harus memasak mpasi" "Sarapan pake apa ya?" "Mandi dulu deh, sekarang hari senin..." Setelah mandi Menanak nasi itu urutannya : nyuci beras, masak nasi, kukus nasi, mendinginkan nasi Bikin mpasi itu urutannya : cemplung nasi, cemplung lauk, sayur, bumbu, blender, masukin ke kontainer Masak lauk : kocok telur, bumbu-bumbu, goreng Manasin air : masukin air ke teko, simpan teko di kompor Di sela-sela itu, kalau si kecil tidak dijaga ayahnya, aku akan bolak-balik menjaganya. Lalu keringat sudah bercucuran lagi. Makan, sambil menyeduh kopi yang entah sempat diminum atau tidak. Lalu pakai baju, make up, sambil nonton tekotok. Biasanya di waktu-waktu ini pengasuh datang. Tiba-tiba saja lima menit lagi menuju pukul 7. Pulang kerja, badan sudah tentu cape, namun bahagia bertemu lagi ...

Sibuk adalah Obat

Kamu sudah tahu bahwa dirimu tidak bisa mengendalikan aliran perasaan. Namun kabar baiknya, kamu tahu kamu bisa mengendalikan apa yang kamu lakukan. Perasaan aneh itu terus mengalir melukai dirimu setiap detik. Tapi kamu mencoba mengalihkan fokus dengan tetap berjalan di atas kesibukan.  Tidak ada tepuk tangan atas keputusanmu itu. Tidak pula ada umpatan. Kamu berjalan seolah memang begini seharusnya. Kamu juga merasa tidak punya hak atas keluhan, apalagi menangis.  Kesibukan menggerus setiap menit dalam harimu, lebih menyakitkan dari perasaan itu. Lebih melelahkan, lebih menyesakkan. Kamu tidak peduli karena itu memang apa yang kamu mau. Rasa sakit yang dapat menutupi rasa sakit lainnya.  Di suatu malam, aku mengirim surat kepada angin. Malam itu juga sang angin menjawab bahwa kamu tidak sendirian. Ratusan, ribuan, ratus ribuan orang-orang yang pernah bertemu denganmu, mengobrol denganmu, atau bahkan hanya berpapasan denganmu, mereka semua mempunyai resep yang sama denga...