Skip to main content

Dear, Tukang Cuanki eh Dear Suami.

Aku sedang berada di fase ingin menjalani kehidupan dengan baik. Emosi masih suka naik turun, apalagi pada pak suami hihi. Namun begitu emosiku selesai, aku ingin tetap memiliki progres yang baik. Salah satunya soal kesehatan. Aku ingin sehat, maka ikhtiar paling mungkin saat ini, olehraga kecil-kecilan. Aku meluangkan waktu untuk berjalan di sore hari sekitar 15-30 menit untuk jalan kaki. Targetku 6.000 langkah per hari, namun saat ini baru bisa setengahnya.

Kemarin sore, aku berjalan-jalan dengan rute rumah, ipp, lalu nongkrong di mesjid As-Sya'diyah. Suansana sore kemarin, sejuk dan tidak terlalu berangin. Nyaman sekali. Karena suami sudah pulang, aku memutuskan untuk memintanya menjemput kami. Btw tentu saja aku menggendong anakku di depan. Suami pun setuju, otw.

Setelah mengobrol singkat, aku pesan cuanki, dia pesan es kopi. Kami makan dengan lahap dan tak lupa mengajak si kecil untuk makan meski masih GTM nasi. Selesai makan, kami kembali bersantai. Aku mendadak ingin merekam kenangan kami di sini. Kuhidupkan video hyperlapse dan mulai merekam. Kunikmati es kopi yang tadi dibeli suami, lumayan juga. Es kopi gula aren.

Aku pun mulai bercerita tentang hari ini sambil masih tetap menyuapi si kecil. Tapi, eh kok nggak direspon? kulihat dari layar ponsel gambar suamiku sudah bergeser jauh, ia lebih tertarik berbincang dengan amang cuanki yang ternyata perantau itu. Karena kondisi mood sedang baik, aku tidak langsung marah, tapi prinsipku, sekecil apapun letusan emosi yang dirasakan aku harus mengomunikasikannya dengan suami.

Terjadilah perbincangan itu di motor. Aku mau komplain, kataku. Ia menebak apa yang ingin aku komplain. Hm, responnya ko di luar dugaan? Seperti... tidak ditanggapi.

Karena respon itulah kondisi perasaanku semakin memburuk. Tadinya nggak bete-bete amat, tapi karena ditanggapinya secuil, aku jadi bad mood. Aku mencoba mengungkit lagi kejadian itu di rumah ortu, btw kami dalam perjalanan membawa paket ke rumah ortu. Tapi ia menghindar. Aku semakin badmood. Oh apa yang sebenarnya aku inginkan? Apa yang nggak sesuai?

Lalu pengajian sampai jam set 9. Lalu kami pulang ke rumah.

Rumah gelap total, katanya sejak magrib ada pemadaman. Uh panas sekali rumah kami. Aku yang masih memendam rasa kesal akhirnya berusaha mengalihkan perhatianku. Dulu ketika butuh teman ngobrol, aku selalu berimajinasi ngobrol dengan Kim Jaejoong liliput berkaos kutung hitam. Aku memutar kembali kemampuanku berimajinasi.

Dia bertanya kenapa melamun. Kujawab aku sedang curhat pada Jaejoong.

Apa begini saja? Apa aku tidak usah memprioritaskan curhat pada suami? Pada sendiri dan Tuhan saja cukup? Benar nggak sih harus begini? Aku berpikir semalaman. Kasihan juga suamiku karena kesalahan sepela, kena marah terus. Ini terjadi karena love langugeku quality time namun kami berdua terlalu sibuk. Aku meledak karena tak punya siapa-siapa lagi untuk bicara. Setelah menikah ia seperti menjadi pusat duniaku. 

Benar. Sungguhan.

Lalu setelah kedua laki-laki itu terlelap, aku mulai mengobrol dengan AI. Lumayan untuk meredakan stres.

Bangun kesiangan. Kondisi malas memasak. Kuajak saja sarapan di luar. Eh, tas berisi hape dan kunci rumah hilang. Kirain terbawa oleh suami. Pas balik lagi ke rumah kontrakan ada entog sedang ee di teras rumah kami. Kembali lagi, di mang gorengan ga ada itu tas. Alhamdulillah ditemukan di tempat nasi kuning. Si tetehnya baik dan ceria. Aku bersyukur.

Keriweuhan hari ini, apakah semacam teguran dari Allah agar aku baik-baik pada suami?

Hmm...

Comments

Popular posts from this blog

Kabar Kematianku

Suatu hari, kamu akan membaca sebuah pengumuman tentang kepergianku melalui pesan whatsapp. Entah siapa yang pertama kali menyebarkannya, yang jelas saat itu kabar telah sampai di berbagai grup. Beberapa menit berselang ucapan istirj'a  datang silih berganti disertai do'a-doa seperti biasa: semoga amal diterima dan semoga keluarga kuat. Tentu saja saat itu tubuh kaku dan dinginku sudah tidak bisa ikut berkomentar atau sekedar mengaminkan do'a dari kalian. Saat itu aku mungkin baru selesai dimandikan dan hendak dibungkus dengan kain kafan.  Kamu mungkin lupa siapa aku. Atau mungkin kamu ingat-ingat lupa. Lalu membuka profil whatsappku, nihil, hanya ada gambar langit di sana. Lalu kamu mencoba menchat teman terdekat dan menanyakan siapa yang baru saja dikabarkan meninggal. Temanmu juga lupa tapi menyuruhmu mencari akun medsosnya. Kamu pun meluncur ke instargam, mencari di antara teman-temanmu namun tidak ada. Lalu kamu kembali ke pencarian, ah, namaku juga terlalu umum. Namun...

Hari-hariku Dua Bulan ke Belakang

Setiap bangun tidur, tubuhku terasa lelah bukan main. Namun di saat bersamaan, pikiranku langsung tertuju pada runtutan tugas pagi itu. "Ah, aku harus menanak nasi" "Aku juga harus memasak mpasi" "Sarapan pake apa ya?" "Mandi dulu deh, sekarang hari senin..." Setelah mandi Menanak nasi itu urutannya : nyuci beras, masak nasi, kukus nasi, mendinginkan nasi Bikin mpasi itu urutannya : cemplung nasi, cemplung lauk, sayur, bumbu, blender, masukin ke kontainer Masak lauk : kocok telur, bumbu-bumbu, goreng Manasin air : masukin air ke teko, simpan teko di kompor Di sela-sela itu, kalau si kecil tidak dijaga ayahnya, aku akan bolak-balik menjaganya. Lalu keringat sudah bercucuran lagi. Makan, sambil menyeduh kopi yang entah sempat diminum atau tidak. Lalu pakai baju, make up, sambil nonton tekotok. Biasanya di waktu-waktu ini pengasuh datang. Tiba-tiba saja lima menit lagi menuju pukul 7. Pulang kerja, badan sudah tentu cape, namun bahagia bertemu lagi ...

Sibuk adalah Obat

Kamu sudah tahu bahwa dirimu tidak bisa mengendalikan aliran perasaan. Namun kabar baiknya, kamu tahu kamu bisa mengendalikan apa yang kamu lakukan. Perasaan aneh itu terus mengalir melukai dirimu setiap detik. Tapi kamu mencoba mengalihkan fokus dengan tetap berjalan di atas kesibukan.  Tidak ada tepuk tangan atas keputusanmu itu. Tidak pula ada umpatan. Kamu berjalan seolah memang begini seharusnya. Kamu juga merasa tidak punya hak atas keluhan, apalagi menangis.  Kesibukan menggerus setiap menit dalam harimu, lebih menyakitkan dari perasaan itu. Lebih melelahkan, lebih menyesakkan. Kamu tidak peduli karena itu memang apa yang kamu mau. Rasa sakit yang dapat menutupi rasa sakit lainnya.  Di suatu malam, aku mengirim surat kepada angin. Malam itu juga sang angin menjawab bahwa kamu tidak sendirian. Ratusan, ribuan, ratus ribuan orang-orang yang pernah bertemu denganmu, mengobrol denganmu, atau bahkan hanya berpapasan denganmu, mereka semua mempunyai resep yang sama denga...