Skip to main content

Tentang Usia

Keluargaku tidak terbiasa merayakan hari kelahiran alias ulang tahun. Kadang aku melewatkan tanggal lahirku dengan biasa saja, tanpa ada yang spesial. Kadang ada yang mengingatkan lewat pesan, mengucapkan selamat yang kubalas dengan datar saja. Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasa sangat happy birthday >_< Maksudnya, sangat antusias atas penambahan angka di usiaku.

Mungkin sampai kuliah ya? Karena menjadi mahasiswa itu hal yang keren. Menjadi dewasa (baca: tua) adalah impian setiap remaja. Biar kuingatkan lagi, meskipun saat ini masa remaja kadang ngangenin, tapi dulu, dari sudut pandang anak usia belasan tahun, menjadi remaja adalah ujian terberat seumur hidup. Bertengkar dengan sahabat, terseret masalah karena teman, dimarahi guru, kangen rumah, setumpuk tugas, ujian-ujian. huuupfffh... menyebutkan kembali semua itu membuatku ingin melakukan standing applause untuk diri sendiri di masa lalu. Kamu juga boleh melakukannya ko.

Di satu titik, penambahan usia bukan lagi hal yang dinanti-nanti, bahkan kuharap usiaku tidak cepat bertambah. Sumbernya mungkin karena ketidakmampuan diri sendiri, merasa bukan apa-apa, tak bisa apa-apa, bukan siapa-siapa di usia yang menurut standar sosial seharusnya sudah menjadi sesuatu.

Di sisi lain, aku tahu penambahan usia artinya pengurangan jatah hidup. Aku semakin sadar bahwa jarakku dengan garis finis kematian kian mendekat. Tidak ada orang yang mau mengingat itu di hari ulang tahunnya, tapi menurutku lucu saja jika orang dewasa tidak menyadari hal seterang-benderang kematian. Seriusan dia sebahagia itu saat lonceng pengingat berdentang, mengingatkan bahwa "waktumu hidup di dunia berkurang setahun yaa"??? Seriusan nyanyi-nyanyi, tiup lilin, traktir karokean sambil update story???

Oh, sorry, mungkin aku sih yang maha bego. Dunia ini kan aslinya diciptakan buat bermain-main ya. Duh. Aku memang sekaku itu. Haha.

Ada satu ritual yang gak tau sejak kapan kulakukan menjelang tanggal kelahiran. Ritual itu adalah membaca ulang secara acak episode-episode kehidupanku lewat diary. Iyes, aku masih nulis diary dong meski udah umur segini, haha. Geeky banget ya?

Lewat diary, aku selalu bisa mengukur seberapa banyak aku berubah. Lewat diary pula, aku bisa menemukan kekuatan diri. Kadang pula, aku menemukan penghiburan di sana. Itu juga mungkin yang membuat aku tidak berhenti menulis diary. Rasanya seperti menaiki lorong waktu dan menemukan lagi jati diri. Sosok yang kupercaya karena kejujurannya. Sosok yang kuterima apa adanya, sebesar apapun kesalahan yang telah ia lakukan. 

Kali ini, di dalam diary aku menuliskan bahwa usiaku belum segitu tuanya sampai aku harus mengeluh dan merasa takut tidak bisa memenuhi harapan orang-orang. Waktumu, usiamu, sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu. Pikirkan, konsultasikan, lalu putuskan baik-baik. Semuanya untuk dirimu, kamu kan sudah dewasa. 




Comments

Popular posts from this blog

Kecewa

Kecewa tidak pernah menjadi bagian dari rencana manusia. Tentu saja, makhluk gila mana yang ingin dikecewakan secara sengaja. Tapi rasanya hampir semua manusia di muka bumi ini pernah merasakan hal itu. Tulisan ini juga dibuat ketika aku ingin terbebas dari rasa kecewa, meskipun rasa itu terang-terangan menggerogotiku belakangan ini. Aku merasa semua kebaikanku sia-sia. Ha. Padahal sejak dulu aku sudah tahu bahwa rumus kecewa adalah berharap ditambah manusia. Memang tahu beda dengan paham. Karena kejadian yang mengecewakan ini, akhirnya aku lebih paham bahwa manusia apapun jabatannya, selekat apapun ia dengan hidup kita, sebaik apapun ia selama ini kepada kita, tidak lantas menutup kemungkinan bahwa dia akan mengecewakan kita. Lalu bagaimana menyembuhkan ini? Hm ya, aku sendiri tidak tahu. Aku rasa, tidak akan kutemukan dalam waktu dekat. 

Salah ya Salah

Punya idealisme, tak berarti seseorang akan hidup keren dan selamanya berjalan di atas kebenaran. Kadang idealisme hanya menjadi pajangan prestasi yang pernah dicapai di masa lalu, berkilau dan membanggakan, sayangnya kini tak berarti apa-apa. Bahkan, idealisme bisa menjadi kebenaran yang menyiksa karena kita tahu apa yang harusnya dilakukan, tapi tak mampu melakukannya. Apa misal? Melawan pungutan liar yang dilakukan oleh 'atasan' yang menyebalkannya harus diberi label 'oknum'. Sebal karena sebutan itu terlalu halus, lebih asik jika dipanggil 'atasan korup'. Hahaha. Benar, aku terlibat dalam pusaran itu. Ada pihak-pihak yang dengan cara licik, menyuruh kami untuk membayar sejumlah uang karena uang kekurangan gaji kami sudah cair. Mereka kira, cairnya uang itu atas jasa mereka. Ckk. Kenapa aku bilang licik? Karena mereka memakai narasi 'sok' terhormat dengan kalimat: Silahkan memberi uang partisipasi sukarela. Begitulah kurang lebih. Benar, tentu saja me

Mencari-cari Sumbu

Dulu, menulis cerita diam-diam dalam buku tulis merk Mirage menjadi kesenangan tersendiri buatku. Setiap kali memiliki waktu luang, aku akan mengambil pulpen dan kembali meneruskan cerita yang kubuat. Padahal dulu jika dipikir-pikir aku harus rela mengorbankan waktu istirahatku di sela waktu belajar, kegiatan di asrama dan kegiatan di organisasi. Semangat untuk meneruskan cerita, menambah konflik-konflik baru, riset latar tempat lewat ensiklopedia di perpustakaan, semuanya terasa berharga sekali sekarang. Waktu luang ada, kemudahan mencari informasi punya, platform menulis mudah sekali menjangkaunya. Namun sumbu semangat itu terselip di antara kenangan-kenangan manis, tak kutemukan juga sampai hari ini. Menulis menjadi cita-cita yang ingin kulakukan, bukan lagi hobi yang senantiasa meletupkan kegembiraan buatku.  Bagaimana denganmu? Ada sumbu yang hilang seperti itu? Dulu kamu sangat menikmatinya tanpa beban apapun, bahkan pekerjaan itu yang menyumbangkan suntikan semangat pada hari-ha