Skip to main content

Posts

Showing posts from June, 2022

Sibuk adalah Obat

Kamu sudah tahu bahwa dirimu tidak bisa mengendalikan aliran perasaan. Namun kabar baiknya, kamu tahu kamu bisa mengendalikan apa yang kamu lakukan. Perasaan aneh itu terus mengalir melukai dirimu setiap detik. Tapi kamu mencoba mengalihkan fokus dengan tetap berjalan di atas kesibukan.  Tidak ada tepuk tangan atas keputusanmu itu. Tidak pula ada umpatan. Kamu berjalan seolah memang begini seharusnya. Kamu juga merasa tidak punya hak atas keluhan, apalagi menangis.  Kesibukan menggerus setiap menit dalam harimu, lebih menyakitkan dari perasaan itu. Lebih melelahkan, lebih menyesakkan. Kamu tidak peduli karena itu memang apa yang kamu mau. Rasa sakit yang dapat menutupi rasa sakit lainnya.  Di suatu malam, aku mengirim surat kepada angin. Malam itu juga sang angin menjawab bahwa kamu tidak sendirian. Ratusan, ribuan, ratus ribuan orang-orang yang pernah bertemu denganmu, mengobrol denganmu, atau bahkan hanya berpapasan denganmu, mereka semua mempunyai resep yang sama denganmu. Sibuk ada

Tahu Bumbu Rabu

  Tinggal di kota tahu, tumbuh bersama jajanan seperti tahu gejrot, besar dengan hidangan serba tahu. Tahu bukan sajian aneh, baik bagiku maupun untuk kebanyakan orang di negeri ini. Murah, enak, sehat. Sebelum berani mengambil resiko (baca: kerepotan) masakan tahu yang kubuat paling-paling sebatas tahu goreng, tahu berontak, tahu krispi, tahu bulat yang tinggal menggoreng, tahu bala alias balahu. Tapi memasak rupanya soal mengambil tantangan baru. Bumbu masakan yang satu ini terdiri dari bawang bersaudara, cabe, garam, gula, kemiri, salam, sereh, kecap. Bumbu yang lebih rumit dari biasanya. Tekniknya pun tidak cukup dipotong, tapi perlu diulek. Artinya lebih banyak pekerjaan mengupas, mengiris serta lebih banyak cucian kotor. Resikonya lebih tinggi dari tahu-tahu goreng dengan kesulitan level 1. Kenapa aku memutuskan untuk membuat masakan yang penuh resiko ini? Nanti kapan-kapan aku ceritakan. Ini adalah percobaan kali ke tiga, menurutku lumayan ada progres. Percobaan pertama tahu kur

Menerima Kebaikan

Berbuat baik itu butuh latihan, begitu pula menerimanya. Ada segelintir orang yang menerima kebaikan saja susahnya minta ampun. Sudah tahu repot, namun ketika dibantu menolak dengan sikap defensif. Orang yang berniat baik mau membantu itu jadi segan, lalu jadi enggan.  Jika itu diri kita sendiri, coba pertimbangkan sudut pandang orang yang berniat membantu. Melakukan kebaikan tidak selalu mudah. Sebaiknya jangan terlalu sering mematahkan niat baik seseorang hingga ia merasa terluka. Terima saja, abaikan rasa 'tidak enak' yang sebenarnya tidak terlalu jujur itu. Jika itu orang lain, coba untuk memaklumi saja, jangan cepat patah hati. Mungkin, orang itu terlalu keras pada dirinya sendiri sehingga merasa canggung menerima kebaikan dari orang lain. Barangkali dia terlalu terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Terima saja, berikan senyuman tulus dan tunjukkan bahwa kamu benar-benar berniat membantunya tanpa pamrih. Berbuat baik itu butuh latihan, begitu pula menerimanya. Jadi, bagaiman

Kwetiau yang Rumit

  Memasak adalah seni mengolah kesabaran manusia. Cuci-cuci, iris-iris, tumis-tumis, goreng-goreng, tabur-tabur, koreksi rasa, aduk-aduk, koreksi rasa lagi, lalu bingung sendiri. Ini udah layak disebut makanan belum sih? Sore itu, setelah seharian menahan lapar, sewajan penuh kwetiau tersaji dengan meriah. Tidak ada kitab resep yang diikuti, hanya kenekadan yang diperhitungkan. Kupikir kwetiau akan lebih sehat dengan banyak sayuran. Tapi rupanya mengawinkan secara paksa antara makanan tidak sehat dan makanan sehat juga ada aturannya. Ada  yang matching alias rukun sentosa, ada yang berkelahi seperti ini. Rasanya tidak blended, terpisah satu sama lain.  Lain kali, mungkin takaran bawang daun harus mengalah. Bawang daun harus lebih beretika sebagai tamu, jangan mendominasi tuan rumah. Wortel juga tidak akan "kupaksa" lagi untuk berdamai dengan kwetiau. Lain kali, akan kucoba sayuran lain saja. Bahan: Kwetiau, wortel, cabe merah besar, bawang daun, bumbu bawang merah putih, kemi

Tumis Kentang Wortel

Aku tidak pandai memasak. Belum. Tapi aku yakin memasak itu bukan bakat alami seseorang dari lahir melainkan hasil latihan. Jadi, bisa saja suatu hari nanti, itupun kalau tekadku kuat, aku bisa jago masak.  Jago masak tidak pernah jadi bagian dari tujuanku sebelum ini. Apa yang mengubahku? Banyak hal, di antaranya drakor-drakor yang penuh dengan adegan dari restoran ke restoran. Orang korea itu, ketika menikmati makanan enak, mereka mengekspresikannya dengan (agak) berlebihan menurutku. Tapi konon, itu cara mereka berterima kasih (baca: bersyukur) atas makanan yang mereka makan. Makanan yang baik (enak, cantik, sehat) bisa menjadi salah satu faktor meningkatkan kualitas hidup seseorang. Aku jadi lebih penasaran saja pada makanan, terutama makanan rumahan. Hal lain yang mendorongku adalah, karena aku mulai senang melihat-lihat panci, pan, alat masak apapun itu di pasar onlen. Aneh juga, kenapa hanya dengan melihat benda-benda itu, aku merasa senang. Kata seorang teman, mungkin aku sudah