Skip to main content

Cinta dan Kekuatan

Pernah nggak kamu tertidur di sore hari dan merasa nggak punya alasan untuk segera bangun dan mengerjakan sesuatu?

Aku menanyakannya karena pernah. 

Sebenarnya apa sih yang bisa menggerakan seseorang untuk bangun dan melakukan sesuatu dengan bersemangat? 

Masih dalam rebahan soreku, aku menjawab pertanyaan itu sendiri. Mungkin cinta. Ya, orang-orang bergerak dengan semangat ke tempat dengan kekuatan cinta untuk keluarganya. Untuk ayah, ibu, adik, kakak, suami, istri, atau anak-anak tercinta. Manusia cenderung punya kekuatan lebih banyak saat mengerjakan sesuatu untuk orang lain. Kamu sependapat nggak?

Jadi balik lagi ke rebahan soreku. Kenapa aku tidak segera bangun dan menyalakan laptopku? Padahal sudah jam 4 sore dan itu waktunya untuk berlatih menulis. Aku menduga, jangan-jangan karena aku tidak cukup mampu untuk mencintai. 

Aneh?

Kamu harus tahu ya, di dunia ini gak semua orang bisa mencintai sesuatu dengan mudah. Entah itu pekerjaan, benda, ataupun manusia lainnya. Aku cenderung menilai diriku termasuk orang aneh itu. Jika antusiasme bisa digambarkan seperti detak jantung di monitor, grafik milikku lebih dekat pada garis lurus. Kadang bisa sangat heboh, tapi jarang sekali aku menemukan tema, benda, obrolan, dan manusia yang membuatku antusias untuk mencintai. 

Sudut pandangku pada dunia luar memantul balik kepadaku seperti menghadapi sebuah cermin. Nampaknya dunia juga tidak begitu antusias padaku. Aku seringkali menjadi kelompok "tengah" alias "rata-rata" yang mudah untuk diabaikan. Itulah kenapa aku tidak punya banyak teman. 

Bagi seseorang, mendapatkan tepuk tangan adalah proses yang membahagiakan dan asyik. Bagiku, itu kerja keras. Ngomong-ngomong, aku pernah mengeluarkan energi besar untuk mendapatkan satu tepuk tangan, selama lima tahun. Hasilnya? Aku kalah telak. Setelah itu aku kabur dan tidak ingin lagi naik ke panggung. Aku berjanji aku akan menghilang selama dua ribu seratus sembilan puluh hari.

Oh ya, kenapa bisa begitu, katamu?

Penjelasan paling logis yang kumiliki adalah, karena terbiasa. Sesuatu yang sulit kita jelaskan biasanya hasil dari pengulangan yang terlalu banyak sehingga mengakar kuat dalam diri kita. Akar itu terkubur di dalam, sulit diketahui. Aku terbiasa tidak mencintai atau dicintai. Aku buta soal itu dan memutuskan untuk menjadi penonton entah sampai kapan.

Tapi tenang, ini bukan kelainan. Kurasa ini bagian dari konsekuensi kepribadian. Kita tidak apa-apa. Hanya saja, memang terkadang perlu waktu lama untuk kembali bersemangat. 

Pikiran aneh tiba-tiba muncul di kepalaku. Mungkin, jika aku mengetahui bahwa ada seseorang pernah menyukaiku, energiku bisa pulih kembali sore itu. Mungkin...

Comments

Popular posts from this blog

Kecewa

Kecewa tidak pernah menjadi bagian dari rencana manusia. Tentu saja, makhluk gila mana yang ingin dikecewakan secara sengaja. Tapi rasanya hampir semua manusia di muka bumi ini pernah merasakan hal itu. Tulisan ini juga dibuat ketika aku ingin terbebas dari rasa kecewa, meskipun rasa itu terang-terangan menggerogotiku belakangan ini. Aku merasa semua kebaikanku sia-sia. Ha. Padahal sejak dulu aku sudah tahu bahwa rumus kecewa adalah berharap ditambah manusia. Memang tahu beda dengan paham. Karena kejadian yang mengecewakan ini, akhirnya aku lebih paham bahwa manusia apapun jabatannya, selekat apapun ia dengan hidup kita, sebaik apapun ia selama ini kepada kita, tidak lantas menutup kemungkinan bahwa dia akan mengecewakan kita. Lalu bagaimana menyembuhkan ini? Hm ya, aku sendiri tidak tahu. Aku rasa, tidak akan kutemukan dalam waktu dekat. 

Salah ya Salah

Punya idealisme, tak berarti seseorang akan hidup keren dan selamanya berjalan di atas kebenaran. Kadang idealisme hanya menjadi pajangan prestasi yang pernah dicapai di masa lalu, berkilau dan membanggakan, sayangnya kini tak berarti apa-apa. Bahkan, idealisme bisa menjadi kebenaran yang menyiksa karena kita tahu apa yang harusnya dilakukan, tapi tak mampu melakukannya. Apa misal? Melawan pungutan liar yang dilakukan oleh 'atasan' yang menyebalkannya harus diberi label 'oknum'. Sebal karena sebutan itu terlalu halus, lebih asik jika dipanggil 'atasan korup'. Hahaha. Benar, aku terlibat dalam pusaran itu. Ada pihak-pihak yang dengan cara licik, menyuruh kami untuk membayar sejumlah uang karena uang kekurangan gaji kami sudah cair. Mereka kira, cairnya uang itu atas jasa mereka. Ckk. Kenapa aku bilang licik? Karena mereka memakai narasi 'sok' terhormat dengan kalimat: Silahkan memberi uang partisipasi sukarela. Begitulah kurang lebih. Benar, tentu saja me

Mencari-cari Sumbu

Dulu, menulis cerita diam-diam dalam buku tulis merk Mirage menjadi kesenangan tersendiri buatku. Setiap kali memiliki waktu luang, aku akan mengambil pulpen dan kembali meneruskan cerita yang kubuat. Padahal dulu jika dipikir-pikir aku harus rela mengorbankan waktu istirahatku di sela waktu belajar, kegiatan di asrama dan kegiatan di organisasi. Semangat untuk meneruskan cerita, menambah konflik-konflik baru, riset latar tempat lewat ensiklopedia di perpustakaan, semuanya terasa berharga sekali sekarang. Waktu luang ada, kemudahan mencari informasi punya, platform menulis mudah sekali menjangkaunya. Namun sumbu semangat itu terselip di antara kenangan-kenangan manis, tak kutemukan juga sampai hari ini. Menulis menjadi cita-cita yang ingin kulakukan, bukan lagi hobi yang senantiasa meletupkan kegembiraan buatku.  Bagaimana denganmu? Ada sumbu yang hilang seperti itu? Dulu kamu sangat menikmatinya tanpa beban apapun, bahkan pekerjaan itu yang menyumbangkan suntikan semangat pada hari-ha