Skip to main content

Romansaku Hari Ini

Berita kehilangan datang silih berganti seperti gulungan ombak yang tak jemu menyapa bibir pantai. Tidak ada romasa di bulan Juni hingga Juli tahun ini. Semua orang menggantungkan baju hitam di dekatnya dan selalu bersiaga untuk yang terburuk. Ribuan kelopak bunga terhambur di atas gundukan tanah ini dan itu, di sana dan di sini. 

Kematian memang tak pernah terduga, terutama belakangan ini. Adakah yang lebih menyayat hati daripada perpisahan yang mendadak. Menduga bahwa orang tercinta masih akan ada dalam jamuan berbuka pada Ramadhan tahun depan. Orang-orang yang menonton tak bisa tak ikut larut, semua merasa itu seperti kisahnya. Di antara banyak kekhawatiran ini, kami semua menjalani hari, sekuat mungkin, sebiasa mungkin. 

Aku menyimpan sejenak berita-berita duka itu. Menaruhnya dalam akuarium kaca setengah bundar dengan kualitas nomor satu. Tentu di dalamnya, terlebih dahulu kuhamparkan kain beludru hitam dan lembut agar tidak membuat goresan pada berita duka. 

Lalu, kuciptakan romansaku sendiri. Hal-hal kecil yang membuat bahagia tanpa perlu dilihat manusia manapun. Semua orang bisa melakukannya jika ia mau. Tapi tahulah, manusia itu kadang pemalas dan tidak mudah ditebak nuansa hatinya. Kebahagiaan kecil, karena terlalu kecil, ia anggap tidak berarti dan tidak perlu dilakukan. Mereka adalah budak kapitalisme (maaf karena sok tahu ^_^) yang memiliki tujuan: rumah, mobil, iphone keluaran terbaru, Hermes, jalan-jalan ke luar negeri, berlian, daaaan lain sebagainya. 

Sorry, bahasan barusan agak melenceng. Aku juga nggak tahu kenapa punya kecenderungan sinis seperti itu. *harap* maklum.

Romansaku hari ini ditutup dengan secangkir kopi susu buatan sendiri juga satu episode Hospital Playlist. Drama ini menjadi salah satu drama seri yang akan kutonton ulang. Sederhana, penuh pelajaran, menyentil, segar, dan mengharukan sekaligus mengagumkan. Kupikir orang yang mewujudkan drama itu mempunyai kepribadian tekun dan berpengetahuan luas. Tidak mungkin orang sembarangan. 

Aku ingin tulisanku punya efek serupa. 

Di masa depan, kuharap romansaku adalah membaca komentar baik dari para pembaca novelku. 

Comments

Popular posts from this blog

Kecewa

Kecewa tidak pernah menjadi bagian dari rencana manusia. Tentu saja, makhluk gila mana yang ingin dikecewakan secara sengaja. Tapi rasanya hampir semua manusia di muka bumi ini pernah merasakan hal itu. Tulisan ini juga dibuat ketika aku ingin terbebas dari rasa kecewa, meskipun rasa itu terang-terangan menggerogotiku belakangan ini. Aku merasa semua kebaikanku sia-sia. Ha. Padahal sejak dulu aku sudah tahu bahwa rumus kecewa adalah berharap ditambah manusia. Memang tahu beda dengan paham. Karena kejadian yang mengecewakan ini, akhirnya aku lebih paham bahwa manusia apapun jabatannya, selekat apapun ia dengan hidup kita, sebaik apapun ia selama ini kepada kita, tidak lantas menutup kemungkinan bahwa dia akan mengecewakan kita. Lalu bagaimana menyembuhkan ini? Hm ya, aku sendiri tidak tahu. Aku rasa, tidak akan kutemukan dalam waktu dekat. 

Salah ya Salah

Punya idealisme, tak berarti seseorang akan hidup keren dan selamanya berjalan di atas kebenaran. Kadang idealisme hanya menjadi pajangan prestasi yang pernah dicapai di masa lalu, berkilau dan membanggakan, sayangnya kini tak berarti apa-apa. Bahkan, idealisme bisa menjadi kebenaran yang menyiksa karena kita tahu apa yang harusnya dilakukan, tapi tak mampu melakukannya. Apa misal? Melawan pungutan liar yang dilakukan oleh 'atasan' yang menyebalkannya harus diberi label 'oknum'. Sebal karena sebutan itu terlalu halus, lebih asik jika dipanggil 'atasan korup'. Hahaha. Benar, aku terlibat dalam pusaran itu. Ada pihak-pihak yang dengan cara licik, menyuruh kami untuk membayar sejumlah uang karena uang kekurangan gaji kami sudah cair. Mereka kira, cairnya uang itu atas jasa mereka. Ckk. Kenapa aku bilang licik? Karena mereka memakai narasi 'sok' terhormat dengan kalimat: Silahkan memberi uang partisipasi sukarela. Begitulah kurang lebih. Benar, tentu saja me

Mencari-cari Sumbu

Dulu, menulis cerita diam-diam dalam buku tulis merk Mirage menjadi kesenangan tersendiri buatku. Setiap kali memiliki waktu luang, aku akan mengambil pulpen dan kembali meneruskan cerita yang kubuat. Padahal dulu jika dipikir-pikir aku harus rela mengorbankan waktu istirahatku di sela waktu belajar, kegiatan di asrama dan kegiatan di organisasi. Semangat untuk meneruskan cerita, menambah konflik-konflik baru, riset latar tempat lewat ensiklopedia di perpustakaan, semuanya terasa berharga sekali sekarang. Waktu luang ada, kemudahan mencari informasi punya, platform menulis mudah sekali menjangkaunya. Namun sumbu semangat itu terselip di antara kenangan-kenangan manis, tak kutemukan juga sampai hari ini. Menulis menjadi cita-cita yang ingin kulakukan, bukan lagi hobi yang senantiasa meletupkan kegembiraan buatku.  Bagaimana denganmu? Ada sumbu yang hilang seperti itu? Dulu kamu sangat menikmatinya tanpa beban apapun, bahkan pekerjaan itu yang menyumbangkan suntikan semangat pada hari-ha