Skip to main content

Tahu Diri

Malam ini hujan tidak turun, namun suhu dingin tetap datang menyelusup dari celah bawah pintu dan ventilasi. Rasanya ingin tetap terlentang berbalut selimut hangat. Namun aku tahu diri, kemewahan itu belum boleh kudapatkan.

Catatan kecil yang ditulis menggunakan spidol berbaris rapi dalam sticky note berwarna hijau. Mataku yang masih berat untuk dibuka membacanya satu persatu. Hari ini belum kucoret satupun tugas-tugas kecil itu. Tak ada pilihan kecuali bangun, membasuh wajah dengan air dingin dan kembali ke depan laptop.

Bagian dalam diriku gemar sekali menawar: "ayolah, jangan terlalu memaksakan diri. Teman-temanmu sudah tidur jam segini, mereka juga akan menyelesaikan tugas mereka tanpa memakai list tugas yang dicoret-coret begitu!" ia memintaku untuk kembali beristirahat, santai sambil membuka-buka ponsel. 

Namun sisi keras kepalaku akan menang, seperti biasa. Rasanya hal-hal baik yang datang pada diriku tidak terlepas dari sikap ini: keras pada diri sendiri. Aku paling tidak bisa bersantai, hm mungkin ini akan terdengar agak pongah. Tapi serius, aku nggak bermaksud meninggikan diri. Kadang iri juga pada teman yang suka santai seharian. Jika itu terjadi padaku, artinya kondisi fisik atau psikisku sedang tidak baik.

Dalam keadaan normal, pikiranku berjalan sesibuk ibu kota Jakarta. Sejak membuka mata sampai mau tidur lagi, beragam pikiran berlalu-lalang di otakku. Jika aku tidak melakukan sesuatu, fokusku akan tumpah pada berbagai pikiran itu. Kadang baik, selebihnya tak berguna. Waktu terbuang percuma dan tugas-tugas terbengkalai.

Aku tahu diri, Allah menciptakan manusia dengan tipe seperti diriku pasti untuk berguna di suatu tempat. Paling tidak, di satu sudut tempat tertentu.

Ketika lelah, aku ingin pikiranku berhenti memikirkan apapun. Tapi itu sama saja seperti menyuruh laut untuk tidak membuat ombak. Untuk itu aku butuh pantai untuk menyandarkan hantaman pikiran-pikiranku. Di sini salah satunya.

Selamat malam. Semoga kamu tidur nyenak malam ini.

Comments

Popular posts from this blog

Kecewa

Kecewa tidak pernah menjadi bagian dari rencana manusia. Tentu saja, makhluk gila mana yang ingin dikecewakan secara sengaja. Tapi rasanya hampir semua manusia di muka bumi ini pernah merasakan hal itu. Tulisan ini juga dibuat ketika aku ingin terbebas dari rasa kecewa, meskipun rasa itu terang-terangan menggerogotiku belakangan ini. Aku merasa semua kebaikanku sia-sia. Ha. Padahal sejak dulu aku sudah tahu bahwa rumus kecewa adalah berharap ditambah manusia. Memang tahu beda dengan paham. Karena kejadian yang mengecewakan ini, akhirnya aku lebih paham bahwa manusia apapun jabatannya, selekat apapun ia dengan hidup kita, sebaik apapun ia selama ini kepada kita, tidak lantas menutup kemungkinan bahwa dia akan mengecewakan kita. Lalu bagaimana menyembuhkan ini? Hm ya, aku sendiri tidak tahu. Aku rasa, tidak akan kutemukan dalam waktu dekat. 

Salah ya Salah

Punya idealisme, tak berarti seseorang akan hidup keren dan selamanya berjalan di atas kebenaran. Kadang idealisme hanya menjadi pajangan prestasi yang pernah dicapai di masa lalu, berkilau dan membanggakan, sayangnya kini tak berarti apa-apa. Bahkan, idealisme bisa menjadi kebenaran yang menyiksa karena kita tahu apa yang harusnya dilakukan, tapi tak mampu melakukannya. Apa misal? Melawan pungutan liar yang dilakukan oleh 'atasan' yang menyebalkannya harus diberi label 'oknum'. Sebal karena sebutan itu terlalu halus, lebih asik jika dipanggil 'atasan korup'. Hahaha. Benar, aku terlibat dalam pusaran itu. Ada pihak-pihak yang dengan cara licik, menyuruh kami untuk membayar sejumlah uang karena uang kekurangan gaji kami sudah cair. Mereka kira, cairnya uang itu atas jasa mereka. Ckk. Kenapa aku bilang licik? Karena mereka memakai narasi 'sok' terhormat dengan kalimat: Silahkan memberi uang partisipasi sukarela. Begitulah kurang lebih. Benar, tentu saja me

Mencari-cari Sumbu

Dulu, menulis cerita diam-diam dalam buku tulis merk Mirage menjadi kesenangan tersendiri buatku. Setiap kali memiliki waktu luang, aku akan mengambil pulpen dan kembali meneruskan cerita yang kubuat. Padahal dulu jika dipikir-pikir aku harus rela mengorbankan waktu istirahatku di sela waktu belajar, kegiatan di asrama dan kegiatan di organisasi. Semangat untuk meneruskan cerita, menambah konflik-konflik baru, riset latar tempat lewat ensiklopedia di perpustakaan, semuanya terasa berharga sekali sekarang. Waktu luang ada, kemudahan mencari informasi punya, platform menulis mudah sekali menjangkaunya. Namun sumbu semangat itu terselip di antara kenangan-kenangan manis, tak kutemukan juga sampai hari ini. Menulis menjadi cita-cita yang ingin kulakukan, bukan lagi hobi yang senantiasa meletupkan kegembiraan buatku.  Bagaimana denganmu? Ada sumbu yang hilang seperti itu? Dulu kamu sangat menikmatinya tanpa beban apapun, bahkan pekerjaan itu yang menyumbangkan suntikan semangat pada hari-ha