Skip to main content

Peduli

Hidupku ya hidupku. Hidupmu ya hidupmu. Hidup dia ya hidup dia. Daaaan seterusnya sampai semua subjek di muka bumi ini musnah. 

"Ga apa-apa mereka terjerumus, yang penting aku baik"

"Mereka memilih jadi begitu kan pilihan, ya hormati aja, bukan urusan kita"

"Setiap orang punya pemikiran dan selera yang berbeda, kita nggak berhak nge-judge"

daaaaaaaaan kalimat-kalimat bernada sejenis lainnya sampai semua kata di KBBI habis terpakai.

Pernah mengomentari perilaku orang lain dengan kalimat seperti itu? Dari yang lugas sampai yang diperhalus, semua sebenarnya mengandung nilai yang sama: KETIDAKPEDULIAN.

Mungkin nggak ketika ada seorang anak nyoba minum minuman keras, terus ibunya bilang "nggak apa-apa lah itu pilihan dia, yang penting saya jadi ibu yang baik" Jawabannya hampir nggak mungkin. Kenapa? Karena setiap ibu di muka bumi ini mencintai anaknya. 

Contoh lain, mungkin nggak ketika ada siswa yang tawuran, gurunya cuma komen "Setiap anak itu punya hobi masing-masing, kita hormati ajalah hobi dia tawuran, repot amat!" Jawabannya mungkin saja kalau si guru itu sudah tidak peduli pada siswanya. Tapi setiap guru yang mencintai siswanya, tentu nggak mungkin mengucapkan hal begitu.

Jadi apa?

Tidak peduli itu, salah satu ciri tidak adanya cinta di sana.

Jika negasinya dihilangkan, maka peduli adalah salah satu bentuk rasa cinta.

Bukankah rasa cinta itu seharusnya hadir dalam hubungan sesama muslim? Meskipun bukan keluarga atau kerabat dekat, bukankah identitas muslim cukup untuk membuat kita saling peduli? Apalagi kalau kenal betul dengan orangnya. 

Kepedulian tidak terlontar dalam bentuk pujian dan kata-kata manis saja, kepedulian kadang harus menjelma sebagai kritik, teguran, sindiran halus maupun keras. Diperlukan kepekaan rasa untuk menerima kata-kata yang menyakitkan itu sebagai bentuk kepedulian.

Jika tidak disadari sekarang, mungkin saja nanti. Ketika butir-butir hikmah telah dianugerahkan kepada hati saudara kita itu. Jangan menyerah, karena kita tidak pernah tahu kalimat kita yang mana yang bisa membawa kebaikan bagi saudara kita.

Edisi-Serius-Amat ^ ^


Comments

Popular posts from this blog

Kecewa

Kecewa tidak pernah menjadi bagian dari rencana manusia. Tentu saja, makhluk gila mana yang ingin dikecewakan secara sengaja. Tapi rasanya hampir semua manusia di muka bumi ini pernah merasakan hal itu. Tulisan ini juga dibuat ketika aku ingin terbebas dari rasa kecewa, meskipun rasa itu terang-terangan menggerogotiku belakangan ini. Aku merasa semua kebaikanku sia-sia. Ha. Padahal sejak dulu aku sudah tahu bahwa rumus kecewa adalah berharap ditambah manusia. Memang tahu beda dengan paham. Karena kejadian yang mengecewakan ini, akhirnya aku lebih paham bahwa manusia apapun jabatannya, selekat apapun ia dengan hidup kita, sebaik apapun ia selama ini kepada kita, tidak lantas menutup kemungkinan bahwa dia akan mengecewakan kita. Lalu bagaimana menyembuhkan ini? Hm ya, aku sendiri tidak tahu. Aku rasa, tidak akan kutemukan dalam waktu dekat. 

Salah ya Salah

Punya idealisme, tak berarti seseorang akan hidup keren dan selamanya berjalan di atas kebenaran. Kadang idealisme hanya menjadi pajangan prestasi yang pernah dicapai di masa lalu, berkilau dan membanggakan, sayangnya kini tak berarti apa-apa. Bahkan, idealisme bisa menjadi kebenaran yang menyiksa karena kita tahu apa yang harusnya dilakukan, tapi tak mampu melakukannya. Apa misal? Melawan pungutan liar yang dilakukan oleh 'atasan' yang menyebalkannya harus diberi label 'oknum'. Sebal karena sebutan itu terlalu halus, lebih asik jika dipanggil 'atasan korup'. Hahaha. Benar, aku terlibat dalam pusaran itu. Ada pihak-pihak yang dengan cara licik, menyuruh kami untuk membayar sejumlah uang karena uang kekurangan gaji kami sudah cair. Mereka kira, cairnya uang itu atas jasa mereka. Ckk. Kenapa aku bilang licik? Karena mereka memakai narasi 'sok' terhormat dengan kalimat: Silahkan memberi uang partisipasi sukarela. Begitulah kurang lebih. Benar, tentu saja me

Mencari-cari Sumbu

Dulu, menulis cerita diam-diam dalam buku tulis merk Mirage menjadi kesenangan tersendiri buatku. Setiap kali memiliki waktu luang, aku akan mengambil pulpen dan kembali meneruskan cerita yang kubuat. Padahal dulu jika dipikir-pikir aku harus rela mengorbankan waktu istirahatku di sela waktu belajar, kegiatan di asrama dan kegiatan di organisasi. Semangat untuk meneruskan cerita, menambah konflik-konflik baru, riset latar tempat lewat ensiklopedia di perpustakaan, semuanya terasa berharga sekali sekarang. Waktu luang ada, kemudahan mencari informasi punya, platform menulis mudah sekali menjangkaunya. Namun sumbu semangat itu terselip di antara kenangan-kenangan manis, tak kutemukan juga sampai hari ini. Menulis menjadi cita-cita yang ingin kulakukan, bukan lagi hobi yang senantiasa meletupkan kegembiraan buatku.  Bagaimana denganmu? Ada sumbu yang hilang seperti itu? Dulu kamu sangat menikmatinya tanpa beban apapun, bahkan pekerjaan itu yang menyumbangkan suntikan semangat pada hari-ha