Memasak adalah seni mengolah kesabaran manusia. Cuci-cuci, iris-iris, tumis-tumis, goreng-goreng, tabur-tabur, koreksi rasa, aduk-aduk, koreksi rasa lagi, lalu bingung sendiri. Ini udah layak disebut makanan belum sih?
Sore itu, setelah seharian menahan lapar, sewajan penuh kwetiau tersaji dengan meriah. Tidak ada kitab resep yang diikuti, hanya kenekadan yang diperhitungkan. Kupikir kwetiau akan lebih sehat dengan banyak sayuran. Tapi rupanya mengawinkan secara paksa antara makanan tidak sehat dan makanan sehat juga ada aturannya. Ada yang matching alias rukun sentosa, ada yang berkelahi seperti ini. Rasanya tidak blended, terpisah satu sama lain.
Lain kali, mungkin takaran bawang daun harus mengalah. Bawang daun harus lebih beretika sebagai tamu, jangan mendominasi tuan rumah. Wortel juga tidak akan "kupaksa" lagi untuk berdamai dengan kwetiau. Lain kali, akan kucoba sayuran lain saja.
Bahan: Kwetiau, wortel, cabe merah besar, bawang daun, bumbu bawang merah putih, kemiri, ebi, garam, sosis murah.
Rasa 🌟🌟🌟
Kesulitan 🌟🌟🌟
Visual 🌟🌟🌟
Comments