Skip to main content

Menerima Kebaikan

Berbuat baik itu butuh latihan, begitu pula menerimanya.

Ada segelintir orang yang menerima kebaikan saja susahnya minta ampun. Sudah tahu repot, namun ketika dibantu menolak dengan sikap defensif. Orang yang berniat baik mau membantu itu jadi segan, lalu jadi enggan. 

Jika itu diri kita sendiri, coba pertimbangkan sudut pandang orang yang berniat membantu. Melakukan kebaikan tidak selalu mudah. Sebaiknya jangan terlalu sering mematahkan niat baik seseorang hingga ia merasa terluka. Terima saja, abaikan rasa 'tidak enak' yang sebenarnya tidak terlalu jujur itu.

Jika itu orang lain, coba untuk memaklumi saja, jangan cepat patah hati. Mungkin, orang itu terlalu keras pada dirinya sendiri sehingga merasa canggung menerima kebaikan dari orang lain. Barangkali dia terlalu terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Terima saja, berikan senyuman tulus dan tunjukkan bahwa kamu benar-benar berniat membantunya tanpa pamrih.

Berbuat baik itu butuh latihan, begitu pula menerimanya.

Jadi, bagaimana kalau mulai berlatih? Mulailah menerima kebaikan-kebaikan kecil yang diberikan orang di sekitar kita. Daripada bilang "sudah, tidak apa-apa kok" katakan saja "duh senengnya dibantu, makasih ya" lalu berikan seulas senyum. 

Daripada bilang "biarin, aku saja" coba bilang "asik, bisa cepat selesai nih. Makasih"

Memang, ada kalanya kita juga perlu menolak. Coba berlatih untuk menahan kalimat penolakan. Tanyakan dulu ke diri sendiri. Bantuan ini perlu benar-benar ditolak nggak?

Menerima kebaikan ternyata bukan kelemahan. Kita tidak lantas menjadi pihak yang hina karena menerima bantuan. Menerima kebaikan adalah kebaikan itu sendiri.

Comments

Popular posts from this blog

Kecewa

Kecewa tidak pernah menjadi bagian dari rencana manusia. Tentu saja, makhluk gila mana yang ingin dikecewakan secara sengaja. Tapi rasanya hampir semua manusia di muka bumi ini pernah merasakan hal itu. Tulisan ini juga dibuat ketika aku ingin terbebas dari rasa kecewa, meskipun rasa itu terang-terangan menggerogotiku belakangan ini. Aku merasa semua kebaikanku sia-sia. Ha. Padahal sejak dulu aku sudah tahu bahwa rumus kecewa adalah berharap ditambah manusia. Memang tahu beda dengan paham. Karena kejadian yang mengecewakan ini, akhirnya aku lebih paham bahwa manusia apapun jabatannya, selekat apapun ia dengan hidup kita, sebaik apapun ia selama ini kepada kita, tidak lantas menutup kemungkinan bahwa dia akan mengecewakan kita. Lalu bagaimana menyembuhkan ini? Hm ya, aku sendiri tidak tahu. Aku rasa, tidak akan kutemukan dalam waktu dekat. 

Salah ya Salah

Punya idealisme, tak berarti seseorang akan hidup keren dan selamanya berjalan di atas kebenaran. Kadang idealisme hanya menjadi pajangan prestasi yang pernah dicapai di masa lalu, berkilau dan membanggakan, sayangnya kini tak berarti apa-apa. Bahkan, idealisme bisa menjadi kebenaran yang menyiksa karena kita tahu apa yang harusnya dilakukan, tapi tak mampu melakukannya. Apa misal? Melawan pungutan liar yang dilakukan oleh 'atasan' yang menyebalkannya harus diberi label 'oknum'. Sebal karena sebutan itu terlalu halus, lebih asik jika dipanggil 'atasan korup'. Hahaha. Benar, aku terlibat dalam pusaran itu. Ada pihak-pihak yang dengan cara licik, menyuruh kami untuk membayar sejumlah uang karena uang kekurangan gaji kami sudah cair. Mereka kira, cairnya uang itu atas jasa mereka. Ckk. Kenapa aku bilang licik? Karena mereka memakai narasi 'sok' terhormat dengan kalimat: Silahkan memberi uang partisipasi sukarela. Begitulah kurang lebih. Benar, tentu saja me

Mencari-cari Sumbu

Dulu, menulis cerita diam-diam dalam buku tulis merk Mirage menjadi kesenangan tersendiri buatku. Setiap kali memiliki waktu luang, aku akan mengambil pulpen dan kembali meneruskan cerita yang kubuat. Padahal dulu jika dipikir-pikir aku harus rela mengorbankan waktu istirahatku di sela waktu belajar, kegiatan di asrama dan kegiatan di organisasi. Semangat untuk meneruskan cerita, menambah konflik-konflik baru, riset latar tempat lewat ensiklopedia di perpustakaan, semuanya terasa berharga sekali sekarang. Waktu luang ada, kemudahan mencari informasi punya, platform menulis mudah sekali menjangkaunya. Namun sumbu semangat itu terselip di antara kenangan-kenangan manis, tak kutemukan juga sampai hari ini. Menulis menjadi cita-cita yang ingin kulakukan, bukan lagi hobi yang senantiasa meletupkan kegembiraan buatku.  Bagaimana denganmu? Ada sumbu yang hilang seperti itu? Dulu kamu sangat menikmatinya tanpa beban apapun, bahkan pekerjaan itu yang menyumbangkan suntikan semangat pada hari-ha