Skip to main content

Diri Sendiri

Waktu seringkali terasa berjalan cepat ketika kamu menengok kembali ke belakang. Sekarang kamu sudah di sini dengan segala ide, pikiran dan prioritas kehidupan. Dalam sehari, berapa banyak porsi waktu yang kamu peruntukkan bagi diri sendiri?

Kamu berpikir semakin dalam, sudah lupa kapan bersikap egois. Tunggu, kamu meralat. Memikirkan diri sendiri tidak sama dengan bersikap egois. Memikirkan diri sendiri artinya peduli. Jadi, seberapa banyak porsi itu?

Sedikit sekali.

Sebelum bekerja kamu banyak menghabiskan waktu scroll feed instagram, melihat kehidupan teman dekat sampai tokoh nasional yang keberadaannya nggak penting-penting amat buatmu. Tanpa sadar kamu sering memikirkan mereka. Apa yang mereka kerjakan hari ini, baju merk apa lagi yang mereka pamerkan, tempat wisata apa yang mereka kunjungi, kata-kata indah apa yang mereka posting, hingga isu politik nasional apa yang sedang hot. 

Waktunya bekerja. Tentu saja di situ posisimu melayani orang lain.

Pulang kerja, kamu lelah. Scroll lagi sebagai bahan hiburan. Fitur 'Story' kembali menjadi pelarianmu. Video-video lucu anak teman, serangkaian gambar produk jualan yang laris manis, konten komedi hingga tragedi. Kamu selalu berpikir itu semua menghiburmu.

Malam menjelang. Kamu belum sempat juga memikirkan dirimu sendiri. Siapa dirimu, apa yang sebenarnya kamu tuju, dan hendak ke mana langkahmu berakhir. Sempat terpikir di kala sunyi sendiri. Namun kamu terlalu malas untuk memikirkannya. Besok sajalah, kilahmu.

Dunia berlari cepat seperti perlombaan marathon. Mereka, dunia, meninggalkanmu jauh di depan. Mereka membuat perubahan. Kamu hanya menonton. Kadang ada rasa getir. Jangan buru-buru ditepis. Rasakan dan resapi. 

Hari ini, coba pikirkan kembali tentang dirimu sendiri. Terlalu banyak hidup orang lain yang kamu tonton. Sekarang saatnya. Ya, hanya sekarang. 

Comments

Popular posts from this blog

Kecewa

Kecewa tidak pernah menjadi bagian dari rencana manusia. Tentu saja, makhluk gila mana yang ingin dikecewakan secara sengaja. Tapi rasanya hampir semua manusia di muka bumi ini pernah merasakan hal itu. Tulisan ini juga dibuat ketika aku ingin terbebas dari rasa kecewa, meskipun rasa itu terang-terangan menggerogotiku belakangan ini. Aku merasa semua kebaikanku sia-sia. Ha. Padahal sejak dulu aku sudah tahu bahwa rumus kecewa adalah berharap ditambah manusia. Memang tahu beda dengan paham. Karena kejadian yang mengecewakan ini, akhirnya aku lebih paham bahwa manusia apapun jabatannya, selekat apapun ia dengan hidup kita, sebaik apapun ia selama ini kepada kita, tidak lantas menutup kemungkinan bahwa dia akan mengecewakan kita. Lalu bagaimana menyembuhkan ini? Hm ya, aku sendiri tidak tahu. Aku rasa, tidak akan kutemukan dalam waktu dekat. 

Salah ya Salah

Punya idealisme, tak berarti seseorang akan hidup keren dan selamanya berjalan di atas kebenaran. Kadang idealisme hanya menjadi pajangan prestasi yang pernah dicapai di masa lalu, berkilau dan membanggakan, sayangnya kini tak berarti apa-apa. Bahkan, idealisme bisa menjadi kebenaran yang menyiksa karena kita tahu apa yang harusnya dilakukan, tapi tak mampu melakukannya. Apa misal? Melawan pungutan liar yang dilakukan oleh 'atasan' yang menyebalkannya harus diberi label 'oknum'. Sebal karena sebutan itu terlalu halus, lebih asik jika dipanggil 'atasan korup'. Hahaha. Benar, aku terlibat dalam pusaran itu. Ada pihak-pihak yang dengan cara licik, menyuruh kami untuk membayar sejumlah uang karena uang kekurangan gaji kami sudah cair. Mereka kira, cairnya uang itu atas jasa mereka. Ckk. Kenapa aku bilang licik? Karena mereka memakai narasi 'sok' terhormat dengan kalimat: Silahkan memberi uang partisipasi sukarela. Begitulah kurang lebih. Benar, tentu saja me

Mencari-cari Sumbu

Dulu, menulis cerita diam-diam dalam buku tulis merk Mirage menjadi kesenangan tersendiri buatku. Setiap kali memiliki waktu luang, aku akan mengambil pulpen dan kembali meneruskan cerita yang kubuat. Padahal dulu jika dipikir-pikir aku harus rela mengorbankan waktu istirahatku di sela waktu belajar, kegiatan di asrama dan kegiatan di organisasi. Semangat untuk meneruskan cerita, menambah konflik-konflik baru, riset latar tempat lewat ensiklopedia di perpustakaan, semuanya terasa berharga sekali sekarang. Waktu luang ada, kemudahan mencari informasi punya, platform menulis mudah sekali menjangkaunya. Namun sumbu semangat itu terselip di antara kenangan-kenangan manis, tak kutemukan juga sampai hari ini. Menulis menjadi cita-cita yang ingin kulakukan, bukan lagi hobi yang senantiasa meletupkan kegembiraan buatku.  Bagaimana denganmu? Ada sumbu yang hilang seperti itu? Dulu kamu sangat menikmatinya tanpa beban apapun, bahkan pekerjaan itu yang menyumbangkan suntikan semangat pada hari-ha